2.1
Konsep Pernikahan
2.1.1 Pengertian
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sedangkan Menurut agama Islam,
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh
kedua belah pihak baik suami maupun istri.
Pernikahan
adalah hubungan yang sah dari dua orang yang berlainan jenis kelamin. Sahnya
hubungan tersebut berdasarkan atas hukum perdata yang berlaku, agama atau
peraturan-peraturan lain yang dianggap sah dalam negara bersangkutan (Lembaga
Demografi FEUI, 2007). Sedangkan
secara umum, Pernikahan
adalah ikatan yang mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam suatu
ikatan keluarga (Luthfiyani, 2008).
2.1.2
Tujuan Pernikahan
Tujuan perkawinan yang ditegaskan dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa, sehingga suami istri perlu saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dalam
mencapai kesejahteraan spiritual dan material maka demi terwujudnya tujuan
perkawinan.
Menurut Chariroh (2004) perkawinan merupakan perbuatan yang
suci dan agung di dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa
memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh
keturunan yang sah dan tujuan ini merupakan tujuan pokok dari perkawinan.
Setiap orang yang melaksanakan perkawinan menginginkan untuk memperoleh anak /
keturunan.
b. Untuk
memenuhi tuntutan naluriah / hajat tabiat kemanusiaan secara syali. Apabila
tidak ada penyaluran yang syah maka manusia banyak melakukan
perbuatan-perbuatan yang menimbulkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.
c. Untuk membentuk dan
mengatur rumah tangga yang merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar
di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan dalam perkawinan merupakan
ikatan lahir dan bathin antara calon suami dan calon istri yang didasari oleh
rasa cinta kasih yang mendalam diantara keduanya. Dengan didasarkan pada rasa
kasih sayang tersebut maka individu tersebut berusaha untuk membentuk suatu
rumah tangga yang kekal dan bahagia.
d. Untuk menumbuhkan
aktifitas dalam usaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung
jawab terhadap keluarga. Kewajiban suami untuk mencari nafkah bagi istri dan
anak-anaknya maka perasaan tanggung jawab pada diri suami semakin besar. Suami
mulai berpikir bagaimana cara mencari nafkah rezeki yang halal untuk memenuhi
kehidupan rumah tangganya dan seorang istri harus bisa mengatur kehidupan dalam
rumah tangganya.
e. Untuk
menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan. Pengaruh hawa nafsu sedemikian
besarnya sehingga manusia kadang-kadang sampai lupa untuk menilai mana yang
baik dan mana yang buruk. Manusia memiliki sifat yang lemah dalam mengendalikan
hawa nafsu sehingga untuk menghindari pemuasan secara tidak syah yang banyak
mendatangkan kerusakan dan kejahatan maka dilakukan suatu perkawinan.
2.1.3 Usia Ideal dalam Penikahan
Dalam hubungan dengan hukum menurut UU, usia minimal untuk
suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7
UU No. 1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di
atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga mereka sudah boleh menikah,
batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun
begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin
orang tua untuk menikahkan anaknya.
Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin
orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun UU
tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita 19 tahun untuk
pria bukan anak – anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih
perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi,
usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia
reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun
pelanggaran masih banyak terjadi di masyarakat terutama dengan menaikkan usia
agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (Sarwono, 2006).
Tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai penentuan usia yang
paling baik dalam melangsungkan pernikahan, akan tetapi untuk menentukan umur
yang ideal dalam pernikahan, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan
pertimbangan :
a. Kematangan
fisiologis dan kejasmanian
Keadaan jasmani yang cukup matang dan sehat diperlukan dalam
melakukan tugas dalam pernikahan.
b. Kematangan
psikologis(emosional).
Terdapat banyak hal yang timbul dalam pernikahan yang
membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologis. Walgito (1984),
mengemukakan bahwa didalam pernikahan dituntut adanya kematangan emosi agar
seseorang dapat menjalankan pernikahan dengan baik. Beberapa tanda kematangan
emosi tersebut adalah mempunyai tanggung jawab, memiliki toleransi yang baik
dan dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa
adanya. Kematangan seperti ini pada umumnya dapat dicapai saat seseorang
mencapai usia 21 tahun.
c. Kematangan sosial,
khususnya sosial-ekonomi.
Kematangan sosial khususnya sosial-ekonomi diperlukan dalam
pernikahan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda ekonomi
keluarga karena pernikahan. Usia yang masih muda pada umumnya belum mempunyai
pegangan dalam hal sosial-ekonomi, padahal jika seseorang telah menikah, maka
keluarga tersebut harus dapat berdiri sendiri untuk kelangsungan keluarga
tersebut, tidak bergantung lagi pada pihak lain termasuk orang tua.
d. Tinjauan
masa depan atau jangkauan kedepan.
Keluarga pada umumnya menghendaki adanya keturunan yang dapat
melanjutkan keturunan keluarga, disamping usia seseorang yang terbatas dimana
pada suatu saat akan mengalami kematian. Sejauh mungkin diusahakan bila orang
tua telah lanjut usianya, anak-anaknya telah dapat berdiri sendiri dan tidak
lagi menjadi beban orangtuanya sehingga pandangan kedepan perlu dipertimbangkan
dalam pernikahan.
e. Perbedaan
perkembangan antara pria dan wanita.
Perkembangan wanita dan pria tidaklah sama. Seorang wanita
yang usianya sama dengan seorang pria tidak berarti bahwa kematangan
psikologisnya juga sama. Sesuai dengan perkembangannya, pada umumnya wanita
lebih dahulu mencapai kematangan dari pada pria.
2.1.4 Arti
Pernikahan Dini
Menurut Hurlock (1999) dalam WHO (2006), penikahan
usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah
19 tahun.
Pernikahan
dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita
yang umur keduanya masih dibawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang
(Rohmah, 2009).
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk
ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun
atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas.
1. Pernikahan Dini menurut
Negara
Undang-undang
negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Dari
sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi
ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi
sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang
belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai
banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan
diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2. Pernikahan dini menurut
islam
Islam telah memerintahkan bahkan menganjurkan kaum
muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Seperti sabda Rasululloh SAW “Wahai
pemuda siap saja diantara kalian yang telah dapat memikul beban, hendaklah ia
segera menikah, karena hal itu yang dapat merundukan mata dan menjaga
kehormatan.Sebaliknya yang belum mampu hendaklah ia berpuasa,karena hal itu
dapat menjadi perisai .
Allah SWT berfirman dalam QS An Nisa : 3 yang
artinya “Nikailah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi satu,dua,tiga
,empat.
Dengan demikian dalam Islam tidak ada batasan usia
dimana seseorang harus menikah, tetapi yang ditentukan adalah kesiapan dalam
membina rumah tangga, kesiapan disini dibidang ilmu,mental dan ekonomi . Jadi
pernikahan dini di dalam Islam di perbolehkan.
2.1.5 Penyebab Pernikahan Dini
Penyebab pernikahan dini tergantung pada kondisi dan
kehidupan sosial masyarakatnya. UNICEF (2005) mengemukakan 2 alasan utama
terjadinya pernikahan dini (early marriage):
1.
Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk
bertahan secara ekonomi (early marriage as a strategy for economic survival).
Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya
pernikahan dini. Ketika kemiskinan semakin tinggi, remaja putri yang dianggap
menjadi beban ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya
dan bahkan sangat jauh jarak usianya, hal ini adalah strategi bertahan sebuah
keluarga.
2.
Untuk melindungi (protecting girls)
Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa
anak perempuan yang telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan
anak yang sah, ikatan perasaan yang kuat dengan pasangan dan sebagainya.
Menikahkan anak diusia muda merupakan salah satu cara untuk mencegah anak dari
perilaku seks pra-nikah. Kebanyakan masyarakat sangat menghargai nilai
keperawanan dan dengan sendirinya hal ini memunculkan sejumlah tindakan untuk
melindungi anak perempuan mereka dari perilaku seksual pranikah.
Mathur,
dkk (2003) juga mengungkapkan beberapa penyebab pernikahan dini, yaitu:
1.
Peran gender dan kurangnya alternatif (Gender
roles and a lack of alternatives).
Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa,
adalah suatu periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi
sejumlah tekanan yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan
mengalami kehidupan seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada
sebagian besar masyarakat menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa
remaja untuk berhasil di sekolah, membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam
olahraga dan aktivitas fisik, mengembangkan kelompok sosial dengan teman
sebayanya, menunjukkan kemampuan mereka mereka dalam menangani ekonomi keluarga
dan tanggung jawab finansial. Remaja putri mengalami hal yang berlawanan,
pengalaman masa remaja bagi para remaja putri di banyak negara berkembang lebih
difokuskan pada masalah pernikahan, menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan
kepatuhan, serta sifat yang baik untuk menjadi istri dan ibu.
2.
Nilai virginitas dan ketakutan mengenai
aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital
sexual activity)
Beberapa budaya di dunia, wanita tidak memiliki kontrol
terhadap seksualitasnya, tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, kelurga
atau kelompok etnis mereka. Oleh karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan
aktivitas seksual, biasanya anggota keluarga yang menentukan, karena perawan
atau tidaknya Ia sebelum menikah menentukan harga diri keluarga. Ketika anak
perempuan mengalami menstruasi, ketakutan akan aktivitas seksual sebelum
menikah dan kehamilan menjadi perhatian utama keluarga. Penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa terkadang pernikahan di usia muda terjadi sebagai solusi
untuk kehamilan yang terjadi di luar pernikahan (Bennet, 1997).
3.
Pernikahan sebagai usaha untuk menggabungkan dan
transaksi (marriage alliances and transactions).
Tekanan menggunakan pernikahan untuk memperkuat keluarga,
kasta, atau persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi,
dan sosial cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya.
Transaksi ekonomi juga menjadi bagian integral dalam proses pernikahan.
4.
Kemiskinan (the role of poverty).
Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan
yang penting menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang
tinggal di keluarga yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan
untuk meringankan beban keluarga.
Menurut
Sarwono (2006), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi pada masa
pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual
yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga
menyebabkan kehamilan, yang kemudian solusi yang diambil adalah dengan
menikahkan mereka.
Sedangkan Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono,
2006) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja
berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah
saling mencintai dan siap untuk menikah. Faktor penyebab lain terjadinya
pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi
akibat putus sekolah dan akibat dari permasalahan ekonomi.
2.1.6 Faktor-faktor
yang Memengaruhi Pernikahan Dini
Adapun
faktor-faktor yang menjadi penyebab berlangsungnya pernikahan dini antara lain
:
1.
Pendidikan
Semakin
muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh
seorang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi
bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri
dan sebagai calon ibu, atau kepala keluarga dan calon
ayah, yang lebih banyak berperan mengurus rumah tangga dan anak yang akan
hadir. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak
berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban, tanggung
jawab orang tua menghidupi anak tersebut pada pasangannya (UNICEF : 2006). Dari
berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat
pendidikan yang rendah dan usia saat menikah.
2.
Ekonomi
Motif ekonomi, harapan
tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak
orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2001). Secara umum,
pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun
terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan
anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Sayangnya, pernikahan gadis ini juga
menikah dengan pria berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan
kemiskinan baru.
3.
Sosial Budaya
Budaya adalah satu kesatuan
yang kompleks, termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum
adat, dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperolah manusia sebagai anggota
masyarakat. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap
aspek kehidupan manusia, yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama,
bentuk keluarga, diet, pakian, bahasa tubuh (Syafrudin dan Mariam, 2010).
4.
Adat Istiadat
Di banyak daerah di Indonesia
ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa belum berkeluarga
dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para orangtua
berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada
akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini.
Desa Pantai Utara Pulau Jawa,
suatu daerah yang penduduknya biasa menikahkan anak gadisnya di usia muda,
biarpun tak lama kemudian bercerai. Di daerah tersebut perempuan yang berumur
17 tahun apabila belum kawin dianggap perawan tua yang tidak laku. Tak jauh
beda di Kabupaten Bantul, perempuan usia dibawah 20-an tak menikah maka dianggap
perempuan tak laku.
5.
Pandangan dan
kepercayaan
Dibanyak daerah masih
ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan
seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa status janda
lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan seseorang
dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.
Dariyo
(2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah,
yakni:
1.
Motif cinta
Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk
menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki
kecocokan dan kesamaan minat.
2.
Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap
pemenuhan kebutuhan biologis.
Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan
norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan seksual.
3.
Untuk memperoleh legitimasi status anak.
Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang
terikat dalam lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan
ajaran agama maupun hukum Negara.
4.
Merasa siap secara mental
Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk
menikah sesegera mungkin.
5.
Peran Usia Dalam Pernikahan
Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran besar dalam
pernikahan, sebagaimana yang disampaikan Walgito (1984) mengenai beberapa kaitan
usia pasangan dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari pernikahan.
2.1.7 Akibat dari Pernikahan Usia Dini
1.
Kematian ibu yang melahirkan
Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di
bawah umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau
kurang mampu untuk melahirkan.
2.
Kematian bayi
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang
mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya
(prematur), ada yang berat badanya kurang, ada yang cacat dan ada pula yang
langsung meninggal.
3.
Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan.
Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda
dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit,
bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari.
4.
Persoalan ekonomi.
Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum
cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan
pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat
meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.
5.
Persoalan kedewasaan.
Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya,
usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah (labil),
sehingga terkadang mereka cenderung bersikap semaunya tanpa peduli dengan
keadaan sekitar termasuk anaknya (BkkbN, 2004).
2.2 Kematangan Emosional
2.2.1 Pengertian
Kematangan emosional adalah suatu
proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berupaya untuk mencapai kematangan
emosi yang sangat baik secara intrafisik maupun interpersonal. Adapun yang
dimaksud mencapai kematangan emosi secara intrafisik adalah mencapai kematangan
emosi sedemikian rupa sehingga perangkat emosi yang bersifat fisik misalnya
organ tubuh mencapai kesehatan yang baik. Sementara yang dimaksud mencapai
kematangan interpersonal adalah mencapai kematangan emosi dengan jalan membina
keharmonisan hubungan pribadi yakni antar individu dengan orang lain secara
baik.
Kematangan emosi menurut
Rice (dalam jurnal ISSN, 2009) menyatakan suatu keadaan untuk menjalani
kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan
keberanian individu dapat merubah hal yang sebaiknya diubah, serta adanya
kebijaksaaan untuk menerima perbedaan. Sedangkan Hurlock mengemukakan bahwa
petunjuk kematangan emosi pada diri individu adalah kemampuan individu untuk
menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara
emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti masa anak –
anak dahulu, sehingga akan menimbulkan reaksi emosional yang stabil dan tidak
berubah – ubah dari suatu emosi ke emosi yang lainnya. Individu dikatakan
mencapai kematangan emosi apabila mampu mengontrol dan mengandalikan emosinya
dengan baik.
Dari definisi yang telah
disampaikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu
proses dimana individu mampu mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam
menghadapi berbagai situasi, sehingga dapat mencapai tingkat dimana individu
tersebut mampu menguasai emosinya dengan lebih baik lagi. Hal ini ditunjukkan
dengan berkembang kearah kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu
beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu
berempati, dan mampu menguasai amarah.
2.2.2 Karakteristik
Kematangan Emosi
Individu yang matang
emosinya akan menjukkan pola tingkah laku tertentu yang berbeda dengan individu
– individu yang tidak matang emosinya. Tingkah laku yang sering ditampilkan
oleh seseorang dapat dijadikan ciri atau karakteristik kematangan emosi pada
dirinya. Adapun beberapa ahli yang menjabarkan karakteristik kematangan emosi
adalah Smitson seperti dikutip Kataskovsky, W dan Garlow, L. mengemukakan tujuh
kematangan emosi :
a.
Berkembang kearah kemandirian (toward
independent)
Kemandirian merupakan
kapasitas seseorang untuk mengatur kehidupannya sendiri, individu lahir kedunia
dalam keadaan tergantung pada orang tua namun dalam perkembangannya mereka akan
belajar untuk mandiri dan mengandalikan dorongan yang bersifat pleasure-orientedartinya mereka mampu
memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan
tersebut.
b.
Mampu menerima kenyataan (ability
to accept reality)
Seseorang yang matang bisa menerima kenyataan
baik yang positif maupun yang negatif tidak menyangkal atau lari darinya. Dia
dapat menghadapi kenyataan apapun sacara efektif, mengembangkan pola tingkah
laku dan pola hubungan dengan orang lain.
c.
Mampu beradaptasi (adaptability)
Aspek ini adalah yang terpenting dari
kematangan emosi, yang matang emosinya akan mampu beradaptasi dan menerima
beragam karakteristik seseorang serta dapat menghadapi situasi apapun dengan
fleksibel. Namun pada mereka yang tidak matang lebih kaku (rigid), mudah menjatuhkan penilaian (judgmental), defensif dan menolak (rejecting).
d.
Kapasitas untuk seimbang (capacity
to balance)
Seseorang yang matang
emosinya akan menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan sendiri dan orang lain, mereka
juga mampu mempertimbangkan apa yang dapat mereka berikan pada orang lain.
e.
Mampu berempati (empatic
understanding)
Empati adalah kemampuan
untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan memahami apa yang mereka
pikir dan rasakan. Dengan kemampuan ini individu tidak hanya mengetahui apa
yang dirasakan orang lain tapi juga memahami hal – hal dibalik munculnya
perasaan tersebut.
f.
Mampu menguasai amarah (controlling
anger)
Individu yang matang
emosinya akan mengetahui hal – hal apa saja yang dapat membuatnya marah maka
dia dapat mengendalikan perasaan marahnya.
2.2.3 Ciri – ciri orang yang
matang emosinya
Menurut Holiingwort seperti
yang telat dikutip oleh jersild, ciri – ciri orang yang matang emosinya adalah
:
a.
Mampu memberikan reaksi emosional secara bertahap
b.
Dapat mengendalikan emosi bila menghadapi situasi tertentu dan menunggu waktu
yang tepat untuk memberi respon yang sesuai
c.
Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan
Menurut Maslow dalam Dariyo
(2004) bahwa individu yang mengalami kematangan emosi memperlihatkan beberapa
ciri :
a.
Tak ada sindrom atau gangguan psikoneurotik, seperti rasa takut, khawatir
dan cemas yang tidak beralasan.
b.
Mampu memandang hidup dan kehidupan pribadinya secara positif yaitu
memiliki insting atau penerimaan yang baik.
c.
Mempunyai spontanitas, mampu bertingkah laku yang wajar dan mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan yang berlangsung.
d.
Mampu menyelsaikan masalah yang dihadapinya secara objektif
e.
Tidak tergantung pada orang lain secara berlebihan.
2.2.4 Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kematangan Emosi
Walgito (2010) mengatakan bahwa kematangan emosi berkaitan
erat dengan umur individu. Makin bertambahnya usia seseorang diharapkan
emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau mengendalikan
emosinya. Namun, usia yang sama antara pria dan wanita tidak menjamin
kematangan keduanya sama. Pada umumnya wanita lebih dulu mencapai kematangan
daripada pria.
Rogers (1981) dalam Khafid (2011) menguraikan beberapa
faktor pengaruh kematangan emosi antara lain adalah :
1. Keluarga
Pengalaman dengan keluarga mempengaruhi perkembangan
emosi seseorang dan menumbuhkan perasaan kesepian, ketakutan, dan kecemasan
akan perpisahan.
2. Jenis kelamin
Perempuan lebih matang emosinya daripada laki-laki.
Peneliti Barkeley menunjukkan bahwa perilaku perempuan terganggu pada awal masa
remaja, barang kali karena budaya permisif pada perempuan yang mengakibatkan
perempuan cepat emosi, tetapi lebih cepat stabil dibanding laki-laki dan
perempuan lebih dapat mengekspresikan emosinya daripada laki-laki.
3. Televisi
Televisi memberikan gambaran yang membingungkan antara
yang nyata dan tidak nyata. Efeknya sangat besar terutama film – film keras
sehingga mengakibatkan munculnya agresi.
4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan tempat hidup termasuk di dalamnya
yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga yang
tidak harmonis, terjadi keretakan dalam hubungan keluarga yang tidak ada
ketentraman dalam keluarga dapat menimbulkan presepsi yang negatif pada diri
individu. Begitu pula lingkungan sosial yang tidak memberikan rasa aman dan
tidak mendukung juga akan menggangu kematangan emosi.
5. Faktor individu
Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang
dipunyai individu. Adanya presepsi pada setiap individu dalam mengartikan
sesuatu hal juga dapat menimbulkan gejolak emosi pada diri individu. Hal ini
disebabkan oleh pikiran negatif, tidak realistik, dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Kalau individu dapat membatalkan pikiran-pikiran yang krliru menjadi
pikiran-pikiran yang benar, maka individu dapat mempersepsikan sesuatu hal
dengan baik.
6. Faktor pengalaman
Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan
memberikan pengaruh yang positif terhadap individu, akan tetapi pengalaman yang
tidak menyenangkan bila selalu terulang dapat memberi pengaruh negatif terhadap
individu maupun terhadap kematangan emosi individu tersebut.
2.3 Pola Asuh Orang Tua
2.3.1
Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pola
berarti gambaran yang dipakai. Gambaran di sini menyangkut model, cara atau
bentuk yang digunakan atau diterapkan untuk individu. Sedangkan kata asuh
berarti menjaga, merawat, dan mendidik anak kecil.
Casmini dalam Bety (2012) menjelaskan bahwa pola
asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik,
membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga pada
upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya.
Mussen berpendapat bahwa pola asuh orang tua adalah
suatu cara yang digunakan oleh orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk
mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana tujuan tersebut
antara pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak
bila dewasa nanti (Mussen, 1994). Dari pendapat Mussen tentang pola asuh orang
tua, mengatakan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua yang diterapkan pada
anak. Dalam hal ini menyangkut berbagai macam cara orang tua dalam mendidik
anak menuju suatu tujuan tertentu.
2.3.2
Macam-macam pola asuh orang tua
Menurut Baumrind (1967) dalam Santrock (2007) secara
garis besar terdapat 4 macam pola asuh orang tua terhadap anaknya yaitu antara
lain :
1.
Pola asuh otoritarian (authoritarian parenting style)
Pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum,
mendesak anak untuk mengikuti kata orang tua mereka, harus hormat pada orang
tua mereka, memiliki tingkat kekakuan (strictness)
yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi sedikit. Diana Baumrind
menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritarian ini memiliki sikap yang
kurang kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan takut
akan perbandingan sosial. Dengan gaya otoritarian seperti ini anak dimungkinkan
memberontak karena tidak terima atau bosan dengan pengekangan. Karena remaja
cenderung ingin mencari tahu tanpa mau dibatasi, dengan pola asuh ini,
probabilitas munculnya perilaku menyimpang pada remaja menjadi semakin besar.
2.
Pola asuh otoritatif (authoritative parenting style)
Menurut
Chadler pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan
kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak,
nalar, serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh
seperti ini memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada
anak tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan
yang tepat dalam hidupnya. Anak yang dididik dengan pola asuh ini memiliki
tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka, dan mengetahui
konsep harga diri yang tinggi. Diana Baumind, pencetus teori ini, sangat
mendukung penerapan pola asuh ini di rumah. Karakteristik pola asuh ini dapat
mengimbagi rasa keingintahuan remaja. Sehingga proses anak dalam menimbulkan
perilaku tindakan antisosial cenderung bisa dibatasi. Karena walaupun anak
dibebaskan, orang tua tetap terlibat dengan memberi batasan berupa peraturan
yang tegas.
3.
Pola asuh mengabaikan (neglectful parenting style)
Pola
asuh ini bercirikan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena
cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan
mereka atau orang tua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari
urusan mereka. Diana Baumrind menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti
ini cenderung kurang cakap secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri
yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi
untuk berprestasi. Dalam konteks ini timbulnya perilaku penyimpangan oleh
remaja, pola asuh seperti ini menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki
frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial, karena mereka tidak
biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau lakukan, mereka akan lakukan
tanpa mau dilarang oleh siapapun.
4.
Pola asuh memanjakan (indulgent parenting style)
Menurut
Diana Baumrind, pola asuh seperti ini membuat orang tua menjadi sangat terlibat
dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, dan sangat
jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh
seperti ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka
sendiri, karena terbiasa untuk dimanja. Anak-anak ini dapat seenaknya untuk
melakukan tindakan perilaku menyimpang, karena terbiasa dengan sistem “apa saja
dibolehkan”, sehingga kemungkinan timbul dan terulangnya perilaku menyimpang
menjadi sangat besar.
Sedangkan
menurut Pudjibudo yang dikutip oleh Balson, ada 3 macam pola asuh yang selama
ini digunakan oleh masyarakat, yaitu :
1.
Pola asuh koersif:
tertib tanpa kebebasan
Pola
asuh koersif hanya mengenal hukuman dan pujian dalam berinteraksi dengan anak.
Pujian akan diberikan ketika anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan
orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan ketika anak tidak melakukan yang
sesuai dengan keinginan orang tua.
Akibat
penerapanpola asuh koersif ini akan muncul empat tujuan anak berperilaku
negatif, yaitu: mencari perhatian, unjuk kekuasaan, pembalasan, dan penarikan
diri.
Ketika
seorang anak dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan
orang tua dengan cara yang dikehendaki oleh orang tua maka anak akan kembali
menuntut orang tuanya untuk memberikan perhatian atau pujian kepadanya.
Sebaliknya jika anak tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya maka dia akan
merasa hidupnya tidak berharga maka dia akan menarik dirinya dari kehidupan.
Pada
saat orang tua menghukum anak karena anak tidak mematuhi keinginannya maka anak
akan belajar untuk mencari kekuasaan karena dia merasakan bahwa karena dia
tidak memiliki kekuasaanlah dia jadi terhina, jika dia tidak mendapatkan
kekuasaan tersebut maka dia akan menanti-nanti saat yang tepat baginya untuk
membalas semua perilaku tak enak yang dia terima selama ini.
Orang
tua yang koersif beranggapan bahwa mereka dapat mengubah perilaku anak yang
tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut dengan cara mencongkel perilaku itu
lalu menggantikannya dengan perilaku yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan
perasaan anaknya.
2.
Pola asuh permisif:
bebas tanpa ketertiban
Pola
asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa
bahwa pola asuh koersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai
pengambil keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan
memiliki derajat kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Namun di sisi
lain orang tua tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putri
mereka, sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak mereka
kepada masyarakat dan media massa yang ada, sambil berharap suatu saat akan
terjadi kejaiban yang datang untuk menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi
pribadi yang soleh dan solehah.
Di
satu sisi orang tua tidak tahu apa yang baik untuk anaknya, di sisi yang lain
anak menafsirkan ketidakberdayaan orang tua mereka dengan orang tua yang tidak
punya pengharapan terhadap mereka. Hasil dari pola asuh permisif ini biasanya
anak akan menjadi impulsif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang
sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial, akibatnya anak
akan terjebak kepada gaya hidup yang serba boleh persis tepat dan sesuai dengan
pola yang berlaku pada masyarakat tempat dia dibesarkan saat ini. Di satu sisi
orang tua akan selalu menanggung semua akibat perilaku anaknya tanpa mereka
sendiri menyadari hal ini.
3.
Pola asuh dialogis:
tertib dengan kebebasan
Pola
asuh ini datang sebagai jawaban atas ketiadaannya pola asuh yang sesuai dengan
fitrah penciptaan manusia. Aktivitas anak bertujuan agar mereka dapat diakuui
keberadaannya, diterima kontribusinya, dicintai dan dimiliki oleh keluarganya.
Dalam
memperbaiki kesalahan anak, orang tua menyadaari bahwa kesalahan itu muncul
karena belum terampil dalam melakukan kebaikan sehingga mereka akan mencoba
untuk membangun keterampilan
tersebut dengan berpijak kepada kelebihan
yang anak miliki, lalu mencoba untuk memperkecil hambatan yang membuat anak
berkecil hati untuk memulai kegiatan yang akan menghantarkan mereka kepada
kebaikan tersebut.
2.3.3 Tipe
pengasuhan
Tipe pengasuhan ada 3 macam, tipe mudah, tipe sulit
dan tipe slow to warm up (Mayke, 2006)
1.
Tipe mudah
Ciri –
cirinya :
a.
Memiliki
suasana hati yang positif, tidak rewel.
b.
Dengan cepat
dapat membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah menyesuaikan diri.
c.
Memasuki usia
pra sekolah atau ballita, anak tipe ini
umumnya lebih mudah memahami penjelasan tentang perilaku yanag di harapkan dari
mereka.
2.
Tipe sulit
Ciri –
cirinya :
a.
Cenderung
bereaksi secara negatif dan sering kali menangis.
b.
Cenderung
bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin, sehingga memberikan kesan sangat
sulit untuk hidup secara teratur (nisalanya keteraturan dalam hal makan, tidur)
c. Lamban dalam menerima pengalaman-pengalaman baru,
sehingga penyesuaian diri dengan lingkungan, situasi serta orang-orang di
sekitarnya dan makanan baru pun sulit.
d. Memasuki usia pra sekolah/ balita, si anak sangat sulit
sekali bila di beri pengertian atau penjelasan tenteng prilaku apa yang tida di
harapkan dari mereka.
3.
Tipe slow to warm
Ciri –
cirinya :
a.
Memliki ciri
anak tipe sulit dan mudah.
b.
Cenderung
menunjukkan suasana hati yang negatif (sedikit lebih baik dari pada tipe sulit ).
c.
Penyesuaian
dirinya juga lamban dan suasana hati anak tipe ini cenderung rendah
intensitasnya.semasa bayi ia tidak terlalu rewel bila dibandingkan dengan tipe
anak sulit.Lewat bujukan-bujukan akhirnya ia dapat di tenangkan.
d.
Memasuki
usia pra sekolah/balita, anak tidak terlalu mudah saat diberi pengertian atau
diberi penjelasan tentang apa yang diharapkan dari mereka dalam bertingkah
laku.
2.3.4 Hal – hal yang dilakukan untuk menuju pola
asuh yang efektif
1.
Pola asuh harus dinamis
Pola
asuh ini harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak
2.
Pola asuh harus sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan anak
Ini
perlu dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda,
selain itu harus memenuhi kebutuhan fisik dan psikis anak. Sentuhan fisik
misalnya merangkul, mencium, memeluk dengan kasih sayang sehingga membuat anak
bahagia dan pribadinya berkembang dengan matang.
3.
Ayah ibu harus kompak
Ayah
dan Ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini orang tua
berkompromi dan jangan sampai orang tua saling berseberangan karena hanya akan
membuat anak bingung.
4.
Pola asuh disertai
perilaku positif dari orang tua
Penerapan
pola asuh jusa membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga bisa
dijadikan contoh bagi anaknya. Orang tua berharap anak bisa jadi yang memiliki
aturan dan norma yang baik, berbakti dan menjadi contoh bagi teman-temannya dan
orang lain.
5.
Komunikasi efektif
Bisa
dikatakan komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh yang efektif.
Syarat dari komunikasi efektif yaitu mempunyai waktu luang untuk berbincang – bincang/ngobrol dengan anak
dan menjadi pendengar yang baik dan jangan meremehkan pendapat anak.
6.
Disiplin
Penerapan
disiplin juga menjadi begian dari pola asuh. Penerapan disiplin dari hal-hal
kecil/yang sederhana. Misalnya membereskan kamar atau menyimpan sesuatu pada
tempatnya yang rapi. Anak juga diajarkan membuat jadwal harian sehingga bisa
lebih teratur dan efektif mengelola kegiatan. Penerapan disiplin ini harus
fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi anak. (Hilman
Hilmansyah, 2006)
2.3.5 Pola asuh pada anak
Pola
asuh sangat berperan dalam mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak untuk
mencapai keberhasilan.
Pola asuh anak mencakup
beberapa kebutuhan :
1.
Asah (kebutuhan
stimulasi)
Stimulasi
adalah adanya perangsang dari lingkungan luar anak yang berupa latihan/bermain.
Stimulasi merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan
cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang mendapatkan stimulasi.Pada masa ini anak cenderung untuk melekat pada satu
macam permainan yang dapat diperlukan anak.
Tujuan bermain:
a.
Mengembangkan
keterampilan bahasa
b. Melatih otot motorik kasar dan halus
c.
Mengembangkan
kecerdasan
d. Melatih imajinasi
e.
Menyalurkan
perasaan anak
Alat permainan :
a.
Lilin yang dapat
dibentuk
b. Alat untuk menggambar
c.
Puzzle
d. Manik-manik
Permainan anak pada masa ini tergolong dalam permainan
untuk suatu keterampilan karena anak mulai berkembang fase otonomi
(kemandirian) dan kebebasan.
2.
Asih (kebutuhan
emosi dan kasih sayang)
a.
Kasih sayang
orang tua
Orang tua yang harmonis akan mendidik dan membimbing
anak dengan penuh kasih. Kasih sayang tidak berarti memnajakan/tidak pernah
memarahi, tetapi bagaimana orang tua menciptakan hubungan yang hangat dengan
anak sehingga anak merasa aman dan senang.
b.
Rasa aman
Adanya interaksi yang harmonis anatara orang tua dan
anak akan menberikan rasa aman bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
c. Harga diri
Setiap anak ingin diakui keberadaannya dan
kenginannya. Apabila anak diacuhkan maka hal ini dapat menyebabkan frustasi.
d. Dukungan/dorongan
Dalam melakukan aktivitas, anak perlu memperoleh
dukungan dari lingkungannya. Apabila ada orang tua melarang aktivitas yang akan
dilakukan, maka hal tersebut dapat menyebabkan anak ragu-ragu dalam melakukan
setiap aktivitasnya.
e. Mandiri
Agar anak menjadi pribadi yang mandiri, maka sejak
awal anak harus dilatih untuk tidak selalu tergantung pada lingkungannya.
f. Rasa memiliki
Anak perlu dilatih untuk mempunyai rasa memiliki
terhadap barang-barang yang dipunyai sehingga akan mempunyai rasa tanggung
jawab untuk memelihara barangnya.
g. Kebutuhan akan sukses mendapat kesempatan dan pengalaman
Anak perlu diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan kemampuan dan sifat-sifat bawaannya.
3.
Asuh
(kebutuhan fisik-biomedis)
a.
Nutrisi
yang mencukupi dan seimbang
Pemberian nutria secara mencukupi pada anak harus dimulai
sejak dalam kandungan yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada
ibu hamil. Nutrisi meningkat pada masa bayi dan pra sekolah, karena pada masa
ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi sangat pesat terutama pada
pertumbuhan otak.
b. Perawatan kesehatan dasar
Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal
diperlukan beberapa upaya misalnya imunisasi, control ke Puskesmas/Posyandu
diperiksakan segera apabila sakit. Dengan upaya tersebut keadaan kesehatan anak
dapat dipantau secara dini.
c. Pakaian
Anak perlu mendapatkan pakaian yang bersih dan nyaman dipakai.
Karena aktivitas anak lebih banyak, hendaknya terbuat dari bahan yang mudah
menyeap keringat.
d. Perumahan
Dengan memberikan tempat tinggal yang layak, maka hal
tersebut akan membantu pertumbuhan secara optimal. Tempat tinggal yang layak
bukan berarti rumah yang berukuran besar, tetapi bagaimana upaya untuk mengatur
rumah menjadi sehat, serta terjaga kebersihan dan kerapiannya.
e. Higiene diri dan lingkungan
Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti
sudah mengurangi resiko tertularnya berbagai penyakit infeksi. Lingkungan
bersih akan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain
secara aman.
f. Kesegaran jasmani ( olahraga dan rekreasi)
Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk
melatih kekuatan otot-otot tubuh dan membuang sisa metabolisme, selain itu juga
membantu meningkatkan motorik anak, dan aspek perkembanga lainnya. Aktivitas
olahraga dan rekreasi bagi anak balita merupakan aktivitas bermain yang
menyenangkan.
2.3.6 Peran
Pengasuhan
Pada budaya timur seperti Indonesia, peran
pengasuhan atau perawatan lebih banyak dipegang oleh istri/ibu meskipun
mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama. Peran dapat dipelajari melalui
proses sosialisasi tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi
antar anggota. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian
dengan kasih saying yang diberikan, perhatian, dan persahabatan.
Dalam menjalankan peran pengasuhan orang tua harus
mempunyai rasa percaya diri yang besar terutama dalam :
1.
Pemahaman tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak
2.
Pemenuhan
kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan.
3.
Penggunaan
alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan perkembangan serta komunikasi
efektif yang diperlukan dalam berinteraksi dengan anak dan anggota keluarga
lainnya.
2.3.7 Faktor –
faktor yang mempengaruhi pola asuh
Menurut Hurlock (1978) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu
karakteristik orang tua yang berupa :
1.
Kepribadian orang tua
Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran,
intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi
kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan
bagaimana tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya.
2.
Keyakinan
Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan
akan mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi tingkah lakunya
dalam mengasuh anak-anaknya.
3.
Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua
Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka dahulu
berhasil menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka akan
menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila mereka merasa pola asuh yang
digunakan orang tua mereka tidak tepat, maka orang tua akan beralih ke teknik
pola asuh yang lain.
4.
Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok
Orang tua yang baru memiliki anak atau yang lebih muda
dan kurang berpengalaman lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap anggota
kelompok (bisa berupa keluarga besar, masyarakat) merupakan cara terbaik dalam
mendidik anak.
5.
Usia orang tua
Orang tua yang berusia muda cenderung lebih demokratis
dan permissive bila dibandingkan dengan orang tua yang berusia tua.
6.
Pendidikan
Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang
tinggi, dan mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan teknik
pengasuhan authoritative dibandingkan dengan orang tua yang tidak mendapatkan
pendidikan dan pelatihan dalam mengasuh anak.
7.
Jenis kelamin
Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka
cenderung kurang otoriter bila dibandingkan dengan bapak.
8.
Status sosial ekonomi
Orang tua dari kelas menengah dan rendah cenderung
lebih keras, mamaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari
kelas atas.
9.
Konsep mengenai peran orang tua dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional
cenderung lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern.
10.
Jenis kelamin anak
Orang tua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan
daripada anak laki-laki.
11.
Usia anak
Usia anak dapat mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan
dan harapan orang tua.
12.
Temperamen
Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat
mempengaruhi temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat beradaptasi
akan berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan anak yang cerewet dan kaku.
13.
Kemampuan anak
Orang tua akan membedakan perlakuan yang akan
diberikan untuk anak yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah dalam
perkembangannya.
14.
Situasi
Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya
tidak diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan
berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan mengasuh dengan pola
outhoritative.
2.4 Hubungan
tingkat kematangan emosional ibu yang melakukan pernikahan dini dengan pola
asuh pada anak balita
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan
yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang
mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas, yang pada umumnya tingkat
kedewasaan atau kematangannya belum sempurna sehingga akan berdampak pada
pemberian pola asuh terhadap anak. Dalam memberikan pola asuh
pada anak harus didasari dengan sikap yang penuh kasih sayang, baik dalam
memberikan pola asah, asih, dan asuh sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal.Perkawinan dua individu memiliki
tujuan yaitu memperoleh kebahagian perkawinan. Kebahagian perkawinan mempunyai
patokan yaitu apabila dalam sebuah keluarga tidak terdapat goncangan yang
berarti sehingga akan membuat anggota yang ada di dalamnya akan hidup lebih
lama dan lebih sehat (Khadif, 2011).
Usia pernikahan yang terlalu muda dapat
mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.Goncangan atau
konflik-konflik dalam perkawinan bisa diminimalkan jika masing-masing individu
memiliki kematangan emosi yang baik. Karena kematangan emosi adalah salah satu faktor-faktor
yang mempengaruhi kebahagian perkawinan.Masa dewasa awal merupakan masa
kematangan, termasuk kematangan emosi. Kematangan emosi adalah seorang individu
dapat melihat situasi secara kritis sebelum berespon secara emosional sehingga
tidak bereaksi seperti anak-anak dan orang yang tidak matang, serta emosinya
stabil (Khadif, 2011).
Penyebab terjadinya pernikahan dini ini dipengaruhi
oleh berbagai macamfaktor. Di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan
mereka yangmempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti hakekat da
ntujuan pernikahan, orang tua yang memiliki ketakutan bahwa anaknya jadiperawan
tua alias tidak laku-laku, faktor ekonomi maupun lingkungan tempatmereka
tinggal juga bisa menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini. Selain
itupernikahan dini juga bisa terjadi karena keinginan mereka untuk segera merealisasikan
ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-lakidan kerabat
mempelai perempuan yang telah lama mereka inginkan (Nupratiwi,
2011).
Dalam hal ini peran orang tua sangatlah penting, maka dari itu
orang tua harus memiliki pengetahuan ataupun tingkat kematangan yang baik
terutama secara emosional.Pola asuh yang kurang baik akan berpengaruh terhadap
perkembangan anak kedepannya. Sehingga anak membutuhkan pola asuh yang baik
untuk membuat anak mempunyai perkembangan yang optimal.