Saturday 22 April 2017

Tingkat kematangan emosional dengan Pernikahan Dini



2.1     Konsep Pernikahan
2.1.1    Pengertian
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Menurut agama Islam, Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri.
Pernikahan adalah hubungan yang sah dari dua orang yang berlainan jenis kelamin. Sahnya hubungan tersebut berdasarkan atas hukum perdata yang berlaku, agama atau peraturan-peraturan lain yang dianggap sah dalam negara bersangkutan (Lembaga Demografi FEUI, 2007). Sedangkan secara umum, Pernikahan adalah ikatan yang mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam suatu ikatan keluarga (Luthfiyani, 2008).

2.1.2    Tujuan Pernikahan
Tujuan perkawinan yang ditegaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, sehingga suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material maka demi terwujudnya tujuan perkawinan.
Menurut Chariroh (2004) perkawinan merupakan perbuatan yang suci dan agung di dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh keturunan yang sah dan tujuan ini merupakan tujuan pokok dari perkawinan. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan menginginkan untuk memperoleh anak / keturunan.
b. Untuk memenuhi tuntutan naluriah / hajat tabiat kemanusiaan secara syali. Apabila tidak ada penyaluran yang syah maka manusia banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.
c. Untuk membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan dalam perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara calon suami dan calon istri yang didasari oleh rasa cinta kasih yang mendalam diantara keduanya. Dengan didasarkan pada rasa kasih sayang tersebut maka individu tersebut berusaha untuk membentuk suatu rumah tangga yang kekal dan bahagia.
d. Untuk menumbuhkan aktifitas dalam usaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab terhadap keluarga. Kewajiban suami untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya maka perasaan tanggung jawab pada diri suami semakin besar. Suami mulai berpikir bagaimana cara mencari nafkah rezeki yang halal untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya dan seorang istri harus bisa mengatur kehidupan dalam rumah tangganya.
e.    Untuk menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan. Pengaruh hawa nafsu sedemikian besarnya sehingga manusia kadang-kadang sampai lupa untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia memiliki sifat yang lemah dalam mengendalikan hawa nafsu sehingga untuk menghindari pemuasan secara tidak syah yang banyak mendatangkan kerusakan dan kejahatan maka dilakukan suatu perkawinan.

2.1.3    Usia Ideal dalam Penikahan
Dalam hubungan dengan hukum menurut UU, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya.
Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun UU tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita 19 tahun untuk pria bukan anak – anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi di masyarakat terutama dengan menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (Sarwono, 2006).
Tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai penentuan usia yang paling baik dalam melangsungkan pernikahan, akan tetapi untuk menentukan umur yang ideal dalam pernikahan, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan :
a.  Kematangan fisiologis dan kejasmanian
Keadaan jasmani yang cukup matang dan sehat diperlukan dalam melakukan tugas dalam pernikahan.
b.  Kematangan psikologis(emosional).
Terdapat banyak hal yang timbul dalam pernikahan yang membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologis. Walgito (1984), mengemukakan bahwa didalam pernikahan dituntut adanya kematangan emosi agar seseorang dapat menjalankan pernikahan dengan baik. Beberapa tanda kematangan emosi tersebut adalah mempunyai tanggung jawab, memiliki toleransi yang baik dan dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya. Kematangan seperti ini pada umumnya dapat dicapai saat seseorang mencapai usia 21 tahun.
c.  Kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi.
Kematangan sosial khususnya sosial-ekonomi diperlukan dalam pernikahan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda ekonomi keluarga karena pernikahan. Usia yang masih muda pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam hal sosial-ekonomi, padahal jika seseorang telah menikah, maka keluarga tersebut harus dapat berdiri sendiri untuk kelangsungan keluarga tersebut, tidak bergantung lagi pada pihak lain termasuk orang tua.
d.  Tinjauan masa depan atau jangkauan kedepan.
Keluarga pada umumnya menghendaki adanya keturunan yang dapat melanjutkan keturunan keluarga, disamping usia seseorang yang terbatas dimana pada suatu saat akan mengalami kematian. Sejauh mungkin diusahakan bila orang tua telah lanjut usianya, anak-anaknya telah dapat berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi beban orangtuanya sehingga pandangan kedepan perlu dipertimbangkan dalam pernikahan.
e.  Perbedaan perkembangan antara pria dan wanita.
Perkembangan wanita dan pria tidaklah sama. Seorang wanita yang usianya sama dengan seorang pria tidak berarti bahwa kematangan psikologisnya juga sama. Sesuai dengan perkembangannya, pada umumnya wanita lebih dahulu mencapai kematangan dari pada pria.



2.1.4    Arti Pernikahan Dini
Menurut Hurlock (1999) dalam WHO (2006), penikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun.
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang umur keduanya masih dibawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang (Rohmah, 2009).
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas.
1.    Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2.    Pernikahan dini menurut islam
Islam telah memerintahkan bahkan menganjurkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Seperti sabda Rasululloh SAW “Wahai pemuda siap saja diantara kalian yang telah dapat memikul beban, hendaklah ia segera menikah, karena hal itu yang dapat merundukan mata dan menjaga kehormatan.Sebaliknya yang belum mampu hendaklah ia berpuasa,karena hal itu dapat menjadi perisai .
Allah SWT berfirman dalam QS An Nisa : 3 yang artinya “Nikailah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi satu,dua,tiga ,empat.
Dengan demikian dalam Islam tidak ada batasan usia dimana seseorang harus menikah, tetapi yang ditentukan adalah kesiapan dalam membina rumah tangga, kesiapan disini dibidang ilmu,mental dan ekonomi . Jadi pernikahan dini di dalam Islam di perbolehkan.

2.1.5    Penyebab Pernikahan Dini
Penyebab pernikahan dini tergantung pada kondisi dan kehidupan sosial masyarakatnya. UNICEF (2005) mengemukakan 2 alasan utama terjadinya pernikahan dini (early marriage):
1.        Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara ekonomi (early marriage as a strategy for economic survival).
Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini. Ketika kemiskinan semakin tinggi, remaja putri yang dianggap menjadi beban ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya dan bahkan sangat jauh jarak usianya, hal ini adalah strategi bertahan sebuah keluarga.
2.        Untuk melindungi (protecting girls)
Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa anak perempuan yang telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan anak yang sah, ikatan perasaan yang kuat dengan pasangan dan sebagainya. Menikahkan anak diusia muda merupakan salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pra-nikah. Kebanyakan masyarakat sangat menghargai nilai keperawanan dan dengan sendirinya hal ini memunculkan sejumlah tindakan untuk melindungi anak perempuan mereka dari perilaku seksual pranikah.
Mathur, dkk (2003) juga mengungkapkan beberapa penyebab pernikahan dini, yaitu:
1.        Peran gender dan kurangnya alternatif (Gender roles and a lack of alternatives).
Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, adalah suatu periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi sejumlah tekanan yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan mengalami kehidupan seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada sebagian besar masyarakat menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa remaja untuk berhasil di sekolah, membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam olahraga dan aktivitas fisik, mengembangkan kelompok sosial dengan teman sebayanya, menunjukkan kemampuan mereka mereka dalam menangani ekonomi keluarga dan tanggung jawab finansial. Remaja putri mengalami hal yang berlawanan, pengalaman masa remaja bagi para remaja putri di banyak negara berkembang lebih difokuskan pada masalah pernikahan, menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan kepatuhan, serta sifat yang baik untuk menjadi istri dan ibu.
2.        Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity)
Beberapa budaya di dunia, wanita tidak memiliki kontrol terhadap seksualitasnya, tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, kelurga atau kelompok etnis mereka. Oleh karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan aktivitas seksual, biasanya anggota keluarga yang menentukan, karena perawan atau tidaknya Ia sebelum menikah menentukan harga diri keluarga. Ketika anak perempuan mengalami menstruasi, ketakutan akan aktivitas seksual sebelum menikah dan kehamilan menjadi perhatian utama keluarga. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan di usia muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi di luar pernikahan (Bennet, 1997).
3.        Pernikahan sebagai usaha untuk menggabungkan dan transaksi (marriage alliances and transactions).
Tekanan menggunakan pernikahan untuk memperkuat keluarga, kasta, atau persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi, dan sosial cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya. Transaksi ekonomi juga menjadi bagian integral dalam proses pernikahan.
4.        Kemiskinan (the role of poverty).
Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan yang penting menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang tinggal di keluarga yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan untuk meringankan beban keluarga.
Menurut Sarwono (2006), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi pada masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga menyebabkan kehamilan, yang kemudian solusi yang diambil adalah dengan menikahkan mereka.
Sedangkan Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 2006) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Faktor penyebab lain terjadinya pernikahan muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah dan akibat dari permasalahan ekonomi.

2.1.6    Faktor-faktor yang Memengaruhi Pernikahan Dini
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab berlangsungnya pernikahan dini antara lain :
1.        Pendidikan
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh seorang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri dan sebagai calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang lebih banyak berperan mengurus rumah tangga dan anak yang akan hadir. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban, tanggung jawab orang tua menghidupi anak tersebut pada pasangannya (UNICEF : 2006). Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara tingkat pendidikan yang rendah dan usia saat menikah.

2.        Ekonomi
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini (UNICEF, 2001). Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Sayangnya, pernikahan gadis ini juga menikah dengan pria berstatus ekonomi tak jauh berbeda, sehingga menimbulkan kemiskinan baru.
3.        Sosial Budaya
Budaya adalah satu kesatuan yang kompleks, termasuk didalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum adat, dan kesanggupan serta kebiasaan yang diperolah manusia sebagai anggota masyarakat. Latar belakang budaya mempunyai pengaruh yang penting terhadap aspek kehidupan manusia, yaitu kepercayaan, tanggapan, emosi, bahasa, agama, bentuk keluarga, diet, pakian, bahasa tubuh (Syafrudin dan Mariam, 2010).
4.        Adat Istiadat
Di banyak daerah di Indonesia ada semacam anggapan jika anak gadis yang telah dewasa belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga. Untuk mencegah aib tersebut, para orangtua berupaya secepat mungkin menikahkan anak gadis yang dimilikinya, yang pada akhirnya mendorong terjadinya pernikahan dini.
Desa Pantai Utara Pulau Jawa, suatu daerah yang penduduknya biasa menikahkan anak gadisnya di usia muda, biarpun tak lama kemudian bercerai. Di daerah tersebut perempuan yang berumur 17 tahun apabila belum kawin dianggap perawan tua yang tidak laku. Tak jauh beda di Kabupaten Bantul, perempuan usia dibawah 20-an tak menikah maka dianggap perempuan tak laku.
5.        Pandangan dan kepercayaan
Dibanyak daerah masih ditemukan adanya pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status pernikahan, adanya anggapan bahwa status janda lebih baik daripada perawan tua, adanya anggapan bahwa kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan pernikahan.
Dariyo (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah, yakni:
1.        Motif cinta
Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan minat.
2.        Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan biologis.
Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan seksual.
3.        Untuk memperoleh legitimasi status anak.
Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang terikat dalam lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama maupun hukum Negara.
4.        Merasa siap secara mental
Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin.
5.        Peran Usia Dalam Pernikahan
Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran besar dalam pernikahan, sebagaimana yang disampaikan Walgito (1984) mengenai beberapa kaitan usia pasangan dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari pernikahan.

2.1.7    Akibat dari Pernikahan Usia Dini
1.        Kematian ibu yang melahirkan
Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di bawah umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau kurang mampu untuk melahirkan.
2.        Kematian bayi
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya (prematur), ada yang berat badanya kurang, ada yang cacat dan ada pula yang langsung meninggal.
3.        Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan.
Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit, bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari.
4.        Persoalan ekonomi.
Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.
5.        Persoalan kedewasaan.
Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah (labil), sehingga terkadang mereka cenderung bersikap semaunya tanpa peduli dengan keadaan sekitar termasuk anaknya (BkkbN, 2004).



2.2     Kematangan Emosional
2.2.1    Pengertian
Kematangan emosional adalah suatu proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berupaya untuk mencapai kematangan emosi yang sangat baik secara intrafisik maupun interpersonal. Adapun yang dimaksud mencapai kematangan emosi secara intrafisik adalah mencapai kematangan emosi sedemikian rupa sehingga perangkat emosi yang bersifat fisik misalnya organ tubuh mencapai kesehatan yang baik. Sementara yang dimaksud mencapai kematangan interpersonal adalah mencapai kematangan emosi dengan jalan membina keharmonisan hubungan pribadi yakni antar individu dengan orang lain secara baik.
Kematangan emosi menurut Rice (dalam jurnal ISSN, 2009) menyatakan suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu dapat merubah hal yang sebaiknya diubah, serta adanya kebijaksaaan untuk menerima perbedaan. Sedangkan Hurlock mengemukakan bahwa petunjuk kematangan emosi pada diri individu adalah kemampuan individu untuk menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti masa anak – anak dahulu, sehingga akan menimbulkan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah – ubah dari suatu emosi ke emosi yang lainnya. Individu dikatakan mencapai kematangan emosi apabila mampu mengontrol dan mengandalikan emosinya dengan baik.
Dari definisi yang telah disampaikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu proses dimana individu mampu mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam menghadapi berbagai situasi, sehingga dapat mencapai tingkat dimana individu tersebut mampu menguasai emosinya dengan lebih baik lagi. Hal ini ditunjukkan dengan berkembang kearah kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati, dan mampu menguasai amarah.

2.2.2    Karakteristik Kematangan Emosi
Individu yang matang emosinya akan menjukkan pola tingkah laku tertentu yang berbeda dengan individu – individu yang tidak matang emosinya. Tingkah laku yang sering ditampilkan oleh seseorang dapat dijadikan ciri atau karakteristik kematangan emosi pada dirinya. Adapun beberapa ahli yang menjabarkan karakteristik kematangan emosi adalah Smitson seperti dikutip Kataskovsky, W dan Garlow, L. mengemukakan tujuh kematangan emosi :
a.    Berkembang kearah kemandirian (toward independent)
Kemandirian merupakan kapasitas seseorang untuk mengatur kehidupannya sendiri, individu lahir kedunia dalam keadaan tergantung pada orang tua namun dalam perkembangannya mereka akan belajar untuk mandiri dan mengandalikan dorongan yang bersifat pleasure-orientedartinya mereka mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.
b.    Mampu menerima kenyataan (ability to accept reality)
Seseorang yang matang bisa menerima kenyataan baik yang positif maupun yang negatif tidak menyangkal atau lari darinya. Dia dapat menghadapi kenyataan apapun sacara efektif, mengembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain.
c.    Mampu beradaptasi (adaptability)
Aspek ini adalah yang terpenting dari kematangan emosi, yang matang emosinya akan mampu beradaptasi dan menerima beragam karakteristik seseorang serta dapat menghadapi situasi apapun dengan fleksibel. Namun pada mereka yang tidak matang lebih kaku (rigid), mudah menjatuhkan penilaian (judgmental), defensif dan menolak (rejecting).
d.   Kapasitas untuk seimbang (capacity to balance)
Seseorang yang matang emosinya akan menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan sendiri dan orang lain, mereka juga mampu mempertimbangkan apa yang dapat mereka berikan pada orang lain.
e.    Mampu berempati (empatic understanding)
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan memahami apa yang mereka pikir dan rasakan. Dengan kemampuan ini individu tidak hanya mengetahui apa yang dirasakan orang lain tapi juga memahami hal – hal dibalik munculnya perasaan tersebut.
f.     Mampu menguasai amarah (controlling anger)
Individu yang matang emosinya akan mengetahui hal – hal apa saja yang dapat membuatnya marah maka dia dapat mengendalikan perasaan marahnya.

2.2.3    Ciri – ciri orang yang matang emosinya
Menurut Holiingwort seperti yang telat dikutip oleh jersild, ciri – ciri orang yang matang emosinya adalah :
a.    Mampu memberikan reaksi emosional secara bertahap
b.    Dapat mengendalikan emosi bila menghadapi situasi tertentu dan menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon yang sesuai
c.    Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan
Menurut Maslow dalam Dariyo (2004) bahwa individu yang mengalami kematangan emosi memperlihatkan beberapa ciri :
a.    Tak ada sindrom atau gangguan psikoneurotik, seperti rasa takut, khawatir dan cemas yang tidak beralasan.
b.    Mampu memandang hidup dan kehidupan pribadinya secara positif yaitu memiliki insting atau penerimaan yang baik.
c.    Mempunyai spontanitas, mampu bertingkah laku yang wajar dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan yang berlangsung.
d.   Mampu menyelsaikan masalah yang dihadapinya secara objektif
e.    Tidak tergantung pada orang lain secara berlebihan.

2.2.4    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Walgito (2010) mengatakan bahwa kematangan emosi berkaitan erat dengan umur individu. Makin bertambahnya usia seseorang diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau mengendalikan emosinya. Namun, usia yang sama antara pria dan wanita tidak menjamin kematangan keduanya sama. Pada umumnya wanita lebih dulu mencapai kematangan daripada pria.
Rogers (1981) dalam Khafid (2011) menguraikan beberapa faktor pengaruh kematangan emosi antara lain adalah :

1.        Keluarga

Pengalaman dengan keluarga mempengaruhi perkembangan emosi seseorang dan menumbuhkan perasaan kesepian, ketakutan, dan kecemasan akan perpisahan.

2.        Jenis kelamin

Perempuan lebih matang emosinya daripada laki-laki. Peneliti Barkeley menunjukkan bahwa perilaku perempuan terganggu pada awal masa remaja, barang kali karena budaya permisif pada perempuan yang mengakibatkan perempuan cepat emosi, tetapi lebih cepat stabil dibanding laki-laki dan perempuan lebih dapat mengekspresikan emosinya daripada laki-laki.

3.        Televisi

Televisi memberikan gambaran yang membingungkan antara yang nyata dan tidak nyata. Efeknya sangat besar terutama film – film keras sehingga mengakibatkan munculnya agresi.

4.    Faktor lingkungan

Faktor lingkungan tempat hidup termasuk di dalamnya yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga yang tidak harmonis, terjadi keretakan dalam hubungan keluarga yang tidak ada ketentraman dalam keluarga dapat menimbulkan presepsi yang negatif pada diri individu. Begitu pula lingkungan sosial yang tidak memberikan rasa aman dan tidak mendukung juga akan menggangu kematangan emosi.

5.    Faktor individu

Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang dipunyai individu. Adanya presepsi pada setiap individu dalam mengartikan sesuatu hal juga dapat menimbulkan gejolak emosi pada diri individu. Hal ini disebabkan oleh pikiran negatif, tidak realistik, dan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau individu dapat membatalkan pikiran-pikiran yang krliru menjadi pikiran-pikiran yang benar, maka individu dapat mempersepsikan sesuatu hal dengan baik.

6.    Faktor pengalaman

Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan memberikan pengaruh yang positif terhadap individu, akan tetapi pengalaman yang tidak menyenangkan bila selalu terulang dapat memberi pengaruh negatif terhadap individu maupun terhadap kematangan emosi individu tersebut.

2.3     Pola Asuh Orang Tua
2.3.1    Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pola berarti gambaran yang dipakai. Gambaran di sini menyangkut model, cara atau bentuk yang digunakan atau diterapkan untuk individu. Sedangkan kata asuh berarti menjaga, merawat, dan mendidik anak kecil.
Casmini dalam Bety (2012) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya.
Mussen berpendapat bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara yang digunakan oleh orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. Dimana tujuan tersebut antara pengetahuan, nilai moral, dan standar perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994). Dari pendapat Mussen tentang pola asuh orang tua, mengatakan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua yang diterapkan pada anak. Dalam hal ini menyangkut berbagai macam cara orang tua dalam mendidik anak menuju suatu tujuan tertentu.

2.3.2    Macam-macam pola asuh orang tua
Menurut Baumrind (1967) dalam Santrock (2007) secara garis besar terdapat 4 macam pola asuh orang tua terhadap anaknya yaitu antara lain :
1.        Pola asuh otoritarian (authoritarian parenting style)
Pola asuh ini bersifat membatasi dan menghukum, mendesak anak untuk mengikuti kata orang tua mereka, harus hormat pada orang tua mereka, memiliki tingkat kekakuan (strictness) yang tinggi, dan memiliki intensitas komunikasi sedikit. Diana Baumrind menyatakan bahwa anak yang dididik secara otoritarian ini memiliki sikap yang kurang kompeten secara sosial, keterampilan komunikasi yang buruk, dan takut akan perbandingan sosial. Dengan gaya otoritarian seperti ini anak dimungkinkan memberontak karena tidak terima atau bosan dengan pengekangan. Karena remaja cenderung ingin mencari tahu tanpa mau dibatasi, dengan pola asuh ini, probabilitas munculnya perilaku menyimpang pada remaja menjadi semakin besar.


2.        Pola asuh otoritatif (authoritative parenting style)
Menurut Chadler pola asuh ini memiliki karakteristik berupa intensitas tinggi akan kasih sayang, keterlibatan orang tua, tingkat kepekaan orang tua terhadap anak, nalar, serta mendorong pada kemandirian. Orang tua yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki sifat yang sangat demokratis, memberikan kebebasan kepada anak tetapi tetap memberi batasan untuk mengarahkan anak menentukan keputusan yang tepat dalam hidupnya. Anak yang dididik dengan pola asuh ini memiliki tingkat kompetensi sosial yang tinggi, percaya diri, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, akrab dengan teman sebaya mereka, dan mengetahui konsep harga diri yang tinggi. Diana Baumind, pencetus teori ini, sangat mendukung penerapan pola asuh ini di rumah. Karakteristik pola asuh ini dapat mengimbagi rasa keingintahuan remaja. Sehingga proses anak dalam menimbulkan perilaku tindakan antisosial cenderung bisa dibatasi. Karena walaupun anak dibebaskan, orang tua tetap terlibat dengan memberi batasan berupa peraturan yang tegas.
3.        Pola asuh mengabaikan (neglectful parenting style)
Pola asuh ini bercirikan orang tua yang tidak terlibat dalam kehidupan anak karena cenderung lalai. Urusan anak dianggap oleh orang tua sebagai bukan urusan mereka atau orang tua menganggap urusan sang anak tidak lebih penting dari urusan mereka. Diana Baumrind menyatakan anak yang diasuh dengan gaya seperti ini cenderung kurang cakap secara sosial, memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk, tidak memiliki kemandirian diri yang baik, dan tidak bermotivasi untuk berprestasi. Dalam konteks ini timbulnya perilaku penyimpangan oleh remaja, pola asuh seperti ini menghasilkan anak-anak yang cenderung memiliki frekuensi tinggi dalam melakukan tindakan anti sosial, karena mereka tidak biasa untuk diatur sehingga apa yang mereka mau lakukan, mereka akan lakukan tanpa mau dilarang oleh siapapun.
4.        Pola asuh memanjakan (indulgent parenting style)
Menurut Diana Baumrind, pola asuh seperti ini membuat orang tua menjadi sangat terlibat dengan anak-anak mereka. Mereka menuruti semua kemauan anak mereka, dan sangat jarang membatasi perilaku anak mereka. Anak yang dihasilkan dengan pola asuh seperti ini, merupakan anak-anak yang sulit untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri, karena terbiasa untuk dimanja. Anak-anak ini dapat seenaknya untuk melakukan tindakan perilaku menyimpang, karena terbiasa dengan sistem “apa saja dibolehkan”, sehingga kemungkinan timbul dan terulangnya perilaku menyimpang menjadi sangat besar.
Sedangkan menurut Pudjibudo yang dikutip oleh Balson, ada 3 macam pola asuh yang selama ini digunakan oleh masyarakat, yaitu :
1.        Pola asuh koersif: tertib tanpa kebebasan
Pola asuh koersif hanya mengenal hukuman dan pujian dalam berinteraksi dengan anak. Pujian akan diberikan ketika anak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan ketika anak tidak melakukan yang sesuai dengan keinginan orang tua.
Akibat penerapanpola asuh koersif ini akan muncul empat tujuan anak berperilaku negatif, yaitu: mencari perhatian, unjuk kekuasaan, pembalasan, dan penarikan diri.
Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan orang tua dengan cara yang dikehendaki oleh orang tua maka anak akan kembali menuntut orang tuanya untuk memberikan perhatian atau pujian kepadanya. Sebaliknya jika anak tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya maka dia akan merasa hidupnya tidak berharga maka dia akan menarik dirinya dari kehidupan.
Pada saat orang tua menghukum anak karena anak tidak mematuhi keinginannya maka anak akan belajar untuk mencari kekuasaan karena dia merasakan bahwa karena dia tidak memiliki kekuasaanlah dia jadi terhina, jika dia tidak mendapatkan kekuasaan tersebut maka dia akan menanti-nanti saat yang tepat baginya untuk membalas semua perilaku tak enak yang dia terima selama ini.
Orang tua yang koersif beranggapan bahwa mereka dapat mengubah perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut dengan cara mencongkel perilaku itu lalu menggantikannya dengan perilaku yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan perasaan anaknya.
2.        Pola asuh permisif: bebas tanpa ketertiban
Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa bahwa pola asuh koersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai pengambil keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Namun di sisi lain orang tua tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putri mereka, sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak mereka kepada masyarakat dan media massa yang ada, sambil berharap suatu saat akan terjadi kejaiban yang datang untuk menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi pribadi yang soleh dan solehah.
Di satu sisi orang tua tidak tahu apa yang baik untuk anaknya, di sisi yang lain anak menafsirkan ketidakberdayaan orang tua mereka dengan orang tua yang tidak punya pengharapan terhadap mereka. Hasil dari pola asuh permisif ini biasanya anak akan menjadi impulsif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial, akibatnya anak akan terjebak kepada gaya hidup yang serba boleh persis tepat dan sesuai dengan pola yang berlaku pada masyarakat tempat dia dibesarkan saat ini. Di satu sisi orang tua akan selalu menanggung semua akibat perilaku anaknya tanpa mereka sendiri menyadari hal ini.
3.        Pola asuh dialogis: tertib dengan kebebasan
Pola asuh ini datang sebagai jawaban atas ketiadaannya pola asuh yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Aktivitas anak bertujuan agar mereka dapat diakuui keberadaannya, diterima kontribusinya, dicintai dan dimiliki oleh keluarganya.
Dalam memperbaiki kesalahan anak, orang tua menyadaari bahwa kesalahan itu muncul karena belum terampil dalam melakukan kebaikan sehingga mereka akan mencoba untuk  membangun keterampilan tersebut  dengan berpijak kepada kelebihan yang anak miliki, lalu mencoba untuk memperkecil hambatan yang membuat anak berkecil hati untuk memulai kegiatan yang akan menghantarkan mereka kepada kebaikan tersebut.

2.3.3    Tipe pengasuhan
Tipe pengasuhan ada 3 macam, tipe mudah, tipe sulit dan tipe slow to warm up (Mayke, 2006)
1.        Tipe mudah
Ciri – cirinya :
a.    Memiliki suasana hati yang positif, tidak rewel.
b.    Dengan cepat dapat membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah menyesuaikan diri.
c.    Memasuki usia pra sekolah atau  ballita, anak tipe ini umumnya lebih mudah memahami penjelasan tentang perilaku yanag di harapkan dari mereka.
2.        Tipe sulit
Ciri – cirinya :
a.    Cenderung bereaksi secara negatif dan sering kali menangis.
b.    Cenderung bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin, sehingga memberikan kesan sangat sulit untuk hidup secara teratur (nisalanya keteraturan dalam hal makan, tidur)
c.    Lamban dalam menerima pengalaman-pengalaman baru, sehingga penyesuaian diri dengan lingkungan, situasi serta orang-orang di sekitarnya dan makanan baru pun sulit.
d.   Memasuki usia pra sekolah/ balita, si anak sangat sulit sekali bila di beri pengertian atau penjelasan tenteng prilaku apa yang tida di harapkan dari mereka.
3.        Tipe slow to warm
Ciri – cirinya :
a.    Memliki ciri anak tipe sulit dan mudah.
b.    Cenderung menunjukkan suasana hati yang negatif (sedikit lebih baik dari pada tipe sulit ).
c.    Penyesuaian dirinya juga lamban dan suasana hati anak tipe ini cenderung rendah intensitasnya.semasa bayi ia tidak terlalu rewel bila dibandingkan dengan tipe anak sulit.Lewat bujukan-bujukan akhirnya ia dapat di tenangkan.
d.   Memasuki usia pra sekolah/balita, anak tidak terlalu mudah saat diberi pengertian atau diberi penjelasan tentang apa yang diharapkan dari mereka dalam bertingkah laku.

2.3.4    Hal – hal yang dilakukan untuk menuju pola asuh yang efektif
1.        Pola asuh harus dinamis
Pola asuh ini harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak
2.        Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak
Ini perlu dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda, selain itu harus memenuhi kebutuhan fisik dan psikis anak. Sentuhan fisik misalnya merangkul, mencium, memeluk dengan kasih sayang sehingga membuat anak bahagia dan pribadinya berkembang dengan matang.
3.        Ayah ibu harus kompak
Ayah dan Ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini orang tua berkompromi dan jangan sampai orang tua saling berseberangan karena hanya akan membuat anak bingung.
4.        Pola asuh disertai perilaku positif dari orang tua
Penerapan pola asuh jusa membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga bisa dijadikan contoh bagi anaknya. Orang tua berharap anak bisa jadi yang memiliki aturan dan norma yang baik, berbakti dan menjadi contoh bagi teman-temannya dan orang lain.
5.        Komunikasi efektif
Bisa dikatakan komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh yang efektif. Syarat dari komunikasi efektif yaitu mempunyai waktu luang untuk berbincang – bincang/ngobrol dengan anak dan menjadi pendengar yang baik dan jangan meremehkan pendapat anak.
6.        Disiplin
Penerapan disiplin juga menjadi begian dari pola asuh. Penerapan disiplin dari hal-hal kecil/yang sederhana. Misalnya membereskan kamar atau menyimpan sesuatu pada tempatnya yang rapi. Anak juga diajarkan membuat jadwal harian sehingga bisa lebih teratur dan efektif mengelola kegiatan. Penerapan disiplin ini harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi anak. (Hilman Hilmansyah, 2006)

2.3.5    Pola asuh pada anak
Pola asuh sangat berperan dalam mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak untuk mencapai keberhasilan.
Pola asuh anak mencakup beberapa kebutuhan :
1.        Asah (kebutuhan stimulasi)
Stimulasi adalah adanya perangsang dari lingkungan luar anak yang berupa latihan/bermain. Stimulasi merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang banyak mendapatkan stimulasi yang terarah akan cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang mendapatkan stimulasi.Pada masa ini anak cenderung untuk melekat pada satu macam permainan yang dapat diperlukan anak.
Tujuan bermain:                
a.   Mengembangkan keterampilan bahasa
b.  Melatih otot motorik kasar dan halus
c.   Mengembangkan kecerdasan
d.  Melatih imajinasi
e.   Menyalurkan perasaan anak
Alat permainan :
a.   Lilin yang dapat dibentuk
b.  Alat untuk menggambar
c.   Puzzle
d.  Manik-manik
Permainan anak pada masa ini tergolong dalam permainan untuk suatu keterampilan karena anak mulai berkembang fase otonomi (kemandirian) dan kebebasan.
2.        Asih (kebutuhan emosi dan kasih sayang)
a.    Kasih sayang orang tua
Orang tua yang harmonis akan mendidik dan membimbing anak dengan penuh kasih. Kasih sayang tidak berarti memnajakan/tidak pernah memarahi, tetapi bagaimana orang tua menciptakan hubungan yang hangat dengan anak sehingga anak merasa aman dan senang.
b.    Rasa aman
Adanya interaksi yang harmonis anatara orang tua dan anak akan menberikan rasa aman bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
c.    Harga diri
Setiap anak ingin diakui keberadaannya dan kenginannya. Apabila anak diacuhkan maka hal ini dapat menyebabkan frustasi.
d.   Dukungan/dorongan
Dalam melakukan aktivitas, anak perlu memperoleh dukungan dari lingkungannya. Apabila ada orang tua melarang aktivitas yang akan dilakukan, maka hal tersebut dapat menyebabkan anak ragu-ragu dalam melakukan setiap aktivitasnya.
e.    Mandiri
Agar anak menjadi pribadi yang mandiri, maka sejak awal anak harus dilatih untuk tidak selalu tergantung pada lingkungannya.
f.     Rasa memiliki
Anak perlu dilatih untuk mempunyai rasa memiliki terhadap barang-barang yang dipunyai sehingga akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memelihara barangnya.
g.    Kebutuhan akan sukses mendapat kesempatan dan pengalaman
Anak perlu diberikan kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan sifat-sifat bawaannya.
3.        Asuh (kebutuhan fisik-biomedis)
a.    Nutrisi yang mencukupi dan seimbang
Pemberian nutria secara mencukupi pada anak harus dimulai sejak dalam kandungan yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Nutrisi meningkat pada masa bayi dan pra sekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi sangat pesat terutama pada pertumbuhan otak.
b.    Perawatan kesehatan dasar
Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal diperlukan beberapa upaya misalnya imunisasi, control ke Puskesmas/Posyandu diperiksakan segera apabila sakit. Dengan upaya tersebut keadaan kesehatan anak dapat dipantau secara dini.
c.    Pakaian
Anak perlu mendapatkan pakaian yang bersih dan nyaman dipakai. Karena aktivitas anak lebih banyak, hendaknya terbuat dari bahan yang mudah menyeap keringat.
d.   Perumahan
Dengan memberikan tempat tinggal yang layak, maka hal tersebut akan membantu pertumbuhan secara optimal. Tempat tinggal yang layak bukan berarti rumah yang berukuran besar, tetapi bagaimana upaya untuk mengatur rumah menjadi sehat, serta terjaga kebersihan dan kerapiannya.

e.    Higiene diri dan lingkungan
Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti sudah mengurangi resiko tertularnya berbagai penyakit infeksi. Lingkungan bersih akan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan aktivitas bermain secara aman.
f.     Kesegaran jasmani ( olahraga dan rekreasi)
Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk melatih kekuatan otot-otot tubuh dan membuang sisa metabolisme, selain itu juga membantu meningkatkan motorik anak, dan aspek perkembanga lainnya. Aktivitas olahraga dan rekreasi bagi anak balita merupakan aktivitas bermain yang menyenangkan.

2.3.6    Peran Pengasuhan
Pada budaya timur seperti Indonesia, peran pengasuhan atau perawatan lebih banyak dipegang oleh istri/ibu meskipun mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama. Peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian dengan kasih saying yang diberikan, perhatian, dan persahabatan.
Dalam menjalankan peran pengasuhan orang tua harus mempunyai rasa percaya diri yang besar terutama dalam :
1.        Pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak
2.        Pemenuhan kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan.
3.        Penggunaan alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan perkembangan serta komunikasi efektif yang diperlukan dalam berinteraksi dengan anak dan anggota keluarga lainnya.

2.3.7    Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh
Menurut Hurlock (1978) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu karakteristik orang tua yang berupa :
1.        Kepribadian orang tua
Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya.
2.        Keyakinan
Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan akan mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam mengasuh anak-anaknya.
3.        Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua
Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka dahulu berhasil menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka akan menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila mereka merasa pola asuh yang digunakan orang tua mereka tidak tepat, maka orang tua akan beralih ke teknik pola asuh yang lain.
4.        Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok
Orang tua yang baru memiliki anak atau yang lebih muda dan kurang berpengalaman lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap anggota kelompok (bisa berupa keluarga besar, masyarakat) merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.
5.        Usia orang tua
Orang tua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan permissive bila dibandingkan dengan orang tua yang berusia tua.
6.        Pendidikan
Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan teknik pengasuhan authoritative dibandingkan dengan orang tua yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam mengasuh anak.
7.        Jenis kelamin
Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung kurang otoriter bila dibandingkan dengan bapak.
8.        Status sosial ekonomi
Orang tua dari kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras, mamaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas atas.
9.        Konsep mengenai peran orang tua dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern.
10.    Jenis kelamin anak
Orang tua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak laki-laki.
11.    Usia anak
Usia anak dapat mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan dan harapan orang tua.
12.    Temperamen
Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat mempengaruhi temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat beradaptasi akan berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan anak yang cerewet dan kaku.
13.    Kemampuan anak
Orang tua akan membedakan perlakuan yang akan diberikan untuk anak yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah dalam perkembangannya.
14.    Situasi
Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan mengasuh dengan pola outhoritative.
2.4     Hubungan tingkat kematangan emosional ibu yang melakukan pernikahan dini dengan pola asuh pada anak balita
Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas, yang pada umumnya tingkat kedewasaan atau kematangannya belum sempurna sehingga akan berdampak pada pemberian pola asuh terhadap anak. Dalam memberikan pola asuh pada anak harus didasari dengan sikap yang penuh kasih sayang, baik dalam memberikan pola asah, asih, dan asuh sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.Perkawinan dua individu memiliki tujuan yaitu memperoleh kebahagian perkawinan. Kebahagian perkawinan mempunyai patokan yaitu apabila dalam sebuah keluarga tidak terdapat goncangan yang berarti sehingga akan membuat anggota yang ada di dalamnya akan hidup lebih lama dan lebih sehat (Khadif, 2011).
Usia pernikahan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.Goncangan atau konflik-konflik dalam perkawinan bisa diminimalkan jika masing-masing individu memiliki kematangan emosi yang baik. Karena kematangan emosi adalah salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagian perkawinan.Masa dewasa awal merupakan masa kematangan, termasuk kematangan emosi. Kematangan emosi adalah seorang individu dapat melihat situasi secara kritis sebelum berespon secara emosional sehingga tidak bereaksi seperti anak-anak dan orang yang tidak matang, serta emosinya stabil (Khadif, 2011).
Penyebab terjadinya pernikahan dini ini dipengaruhi oleh berbagai macamfaktor. Di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan mereka yangmempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti hakekat da ntujuan pernikahan, orang tua yang memiliki ketakutan bahwa anaknya jadiperawan tua alias tidak laku-laku, faktor ekonomi maupun lingkungan tempatmereka tinggal juga bisa menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini. Selain itupernikahan dini juga bisa terjadi karena keinginan mereka untuk segera merealisasikan ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-lakidan kerabat mempelai perempuan yang telah lama mereka inginkan (Nupratiwi, 2011).
Dalam hal ini peran orang tua sangatlah penting, maka dari itu orang tua harus memiliki pengetahuan ataupun tingkat kematangan yang baik terutama secara emosional.Pola asuh yang kurang baik akan berpengaruh terhadap perkembangan anak kedepannya. Sehingga anak membutuhkan pola asuh yang baik untuk membuat anak mempunyai perkembangan yang optimal.

Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa komponen yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Komponen PSQI d...