BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Proses
menua (aging) merupakan proses alami yang dihadapi manusia dimana terjadi
penurunan atau perubahan kondisi fisik, emosional, psikososial yang tentunya
akan mempengaruhi produktivitasnya. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada individu yang lanjut usia (Maryam, dkk, 2008). Salah satu perubahan
tersebut adalah perubahan pola tidur (insomnia), selama penuaan pola tidur akan
mengalami perubahan yang khas yang membedakan dari orang yang lebih muda, perubahan-perubahan
tersebut mencakup fase laten tidur, terbangun pada dini hari, peningkatan
jumlah tidur siang dan kesulitan untuk tidur yang membuat penderita merasa
belum cukup tidur pada saat terbangun (Stanley, 2007). Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab
morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak yang serius terhadap gangguan
tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi
dan memori, mood, depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak
semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Prevalensi gangguan tidur pada lansia
cukup tinggi. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan
bahwa gangguan tidur telah didiagnosis oleh dokter (Amir, 2007).
Sekitar
seperempat dari populasi orang dewasa telah mengalami masalah tidur dan 6%
sampai dengan 10% diperkirakan memiliki gangguan insomnia (National Sleep Foundation, 2012) Hasil survei Warwick
Medical School dari Inggris terhadap Negara Negara di Afrika dan Asia
diperoleh sekitar 150 juta orang dewasa mengalami gangguan tidur. Rata rata
16,6 % kasus insomnia diantara negara-negara yang disurvei tersebut. Angka ini
mendekati Negara Negara barat yaitu sekitar 20% (Wardana, 2012). Di Indonesia, pada tahun 2010 ditemukan
sebesar 36% untuk lansia laki-laki dan 54% lansia perempuan mengeluhkan
insomnia. Hanya 26% lansia laki-laki dan 21% lansia perempuan yang melaporkan
tidak mengalami kesulitan untuk tidur (Zeidler, MR, 2011). Di Jawa Timur kejadian insomnia lansia pada
tahun 2010 mencapai sekitar 10 % dari seluruh jumlah lansia di Jawa timur dan 3%
diantaranya mengalami gangguan yang serius (Yunita, 2011).
Gangguan tidur
merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dihadapi oleh lansia.
Kondisi ini membutuhkan perhatian yang serius. Buruknya kualitas tidur lansia
disebabkan oleh meningkatnya latensi tidur, berkurangnya efisiensi tidur dan terbangun
lebih awal karena proses penuaan. Proses penuaan tersebut menyebabkan penurunan
fungsi neurontransmiter yang ditandai dengan menurunnya distribusi norepinefrin.
Hal itu menyebabkan perubahan irama sirkadian, dimana terjadi perubahan tidur lansia
pada fase NREM 3 dan 4. sehingga lansia hampir tidak memiliki
fase 4 atau tidur dalam (Khasanah dan Hidayati, 2012). Lansia membutuhkan
kualitas tidur yang baik untuk meningkat kan kesehatan dan memulihkan kondisi
dari sakit. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan gangguan-gangguan
antara lain, seperti : kecenderungan lebih rentan terhadap penyakit, pelupa, konfusi,
disorientasi serta menurunnya kemampuan berkonsentrasi dan membuat keputusan. Hal
ini tentu berdampak buruk terhadap kualitas hidup lansia. Oleh karena itu
masalah kualitas tidur pada lansia harus segera ditangani (Olivera, 2010).
Selain itu, kurang tidur itu sendiri dapat membuat
orang cepat marah dan lebih sulit dalam bergaul. Bila tidur kurang lelap, maka
tubuh akan merasa letih, lemah, dan lesu pada saat bangun sehingga mengganggu
aktivitas sehari-hari. Memperoleh tidur malam yang baik adalah penting, karena
selain kita merasa segar, tetapi juga membantu seseorang untuk melakukan
berbagai aktivitas. Akibat orang yang mengalami masalah tidur adalah mengalami
kesulitan berkonsentrasi, terganggu dalam pekerjaan atau relasi personal dan
keluarga, mudah jengkel, selalu tetap merasa, mengantuk siang hari, selalu
tetap terjaga, seperti dia tetap menonton televisi atau membaca, merasa lelah,
bereaksi lambat, dan mudah emosional (Herri zan Pieter dkk, 2011).
Ada beberapa
cara untuk menangani insomnia dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu farmakologi
dan non farmakologi. Salah satu cara non farmakologi untuk menurunkan insomnia
yaitu guided imagery.
Relaksasi dengan teknik guided
imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan
melakukan nafas dalam secara perlahan, tubuh akan menjadi lebih rileks.
Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin
Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary untuk
meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin
oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin
sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks
(Guyton and Hall, 2007). Oleh karena itu, guided imagery merupakan proses yang menggunakan kekuatan pikiran dengan
menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks
melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan,
penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter & Perry, 2005). Hal ini
bertujuan untuk menciptakan keadaan relaksasi psikologis dan fisiologis untuk
meningkatkan perubahan yang baik bagi tubuh. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Guided Imagery dengan Insomnia Pada
Lansia”
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Lansia
2.1.1 Pengertian
Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua
merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011)
Menjadi tua (aging)
yaitu proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia pada
semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan
tersebut (Suardiman: 2011).
Membedakan tiga proses sentral, yaitu penuaan sebagai proses
biologis (senescing), menjadi senior
dalam masyarakat (elderling) atau
penuaan sosial (elderling) dan
penuaan psikologis subjektif (geronting)
(Monks, F.J, 2006).
2.1.2 Batasan-Batasan Lanjut Usia
Mengenai
kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara memuaskan. Dibawah ini
dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur.
1.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
Lanjut usia meliputi: Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59
tahun, lanjut usia (elderly) antara
60-74 tahun. Lanjut usia tua (old)
antara 76-90 tahun, usia sangat tua (very
old) di atas 90 tahun.
2.
Menurut Prof Dr. Ny Sumiati Ahmad Mohamad
Membagi periodisasi biologis perkembangan manusia
antara lain: 0-1 tahun adalah masa bayi, 1-6 tahun adalah masa prasekolah, 6-10
tahun adalah masa sekolah, 10-20 tahun adalah masa pubertas, 40-65 tahun adalah
setengah umur atau pranesium, 65 tahun ke atas adalah masa lanjut usia atau senium
(dalam Bandiyah, 2009).
2.1.3 Perubahan-perubahan Yang terjadi pada Lansia
Akibat
perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang menuntut
dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus-menerus. Berikut ini perubahan-perubahan
yang terjadi pada lansia (Mubarak, 2006):
1.
Perubahan kondisi fisik
Meliputi perubahan dari
tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya system pernapasan,
pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, system pengaturan tubuh,
musculoskeletal, gastro intestinal, genitor urinaria, endokrin dan integumen.
Dan masalah-masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia.
1) Sel terjadi
perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya, serta
berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya intraseluler.
2) Sistem persyarafan
terjadi perubahan berat otak 10-20, lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya
penglihatan, hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa dan penciuman
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan
sebagainya.
3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada
yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada
usia di atas umur 65 tahun dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia
yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan pendengaran
meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang seringkali merupakan
keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan berkaitan dengan efek-efek
kolateral seperti komunikasi yang buruk dengan pemberi perawatan, isolasi,
paranoia dan penyimpangan fungsional.
4) Sistem penglihatan
terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk
spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak yang menyebabkan gangguan
penglihatan, hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan sinar,
daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya
gelap, menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.
5) Sistem
kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup
jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi
dan volume kehilangan elastisitas pembuluh darah karena kurangnya efektivitas
pembuluh darah feriver untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk,
duduk keberdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun menjadi mmHg yang
mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh
meningkatnya resitensi dari pembuluh darah perifer.
2.
Perubahan kondisi mental
Pada umumnya usia lanjut
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan mental
ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat
pendidikan atau pengetahuan, serta situasi lingkungan. Intelegensi diduga secara
umum makin mundur terutama faktor penolakan abstrak mulai lupa terhadap
kejadian baru, masih terekam baik kejadian masa lalu.
3. Perubahan psikososial
Masalah-masalah
ini serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam, tergantung pada
kepribadian individu yang bersangkutan. Pada saat ini orang yang telah
menjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak diharapkan untuk menyesuaikan
dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana,
mempersiapkan diri untuk masa pensiun dengan menciptakan bagi dirinya sendiri
berbagai bidang minat untuk memanfaatkan waktunya, masa pensiunnya akan
memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya.
4. Perubahan
psikologis
Masalah
psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali mengenai sikap mereka
sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain penurunan
badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini di kenal apa
yang di sebut disengagement theory, yang berarti ada penarikan diri dari
masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain. Pemisahan diri hanya dilakukan
baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia
yang realistik dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Karena telah
lanjut usia mereka sering dianggap terlalu lamban, dengan gaya reaksi yang
lamban dan kesiapan dan kecepatan bertindak dan berfikir yang menurun. Daya
ingat mereka memang banyak yang menurun dari lupa sampai pikun dan demensia,
biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi,
malahan lupa mengenal hal-hal yang baru terjadi.
2.2 Konsep Insomnia
2.2.1 Pengertian Insomnia
Insomnia
merupakan suatu gangguan tidur yang dialami penderita dengan gejala-gejala
selalu merasa letih, lelah sepanjang hari, secara terus menerus (lebih dari 10
hari) mengalami kesulitan tidur, selalu terbangun ditengah malam dan sulit
kembali tidur. Ada 3 jenis gangguan insomnia, yakni susah tidur (sleep onset insomnia), selalu terbangun
ditengah malam (sleep maintenance
insomnia), dan selalu bangun jauh lebih cepat dari yang diinginkan (early awakening insomnia). Cukup banyak
orang yang menderita satu dari ketiga jenis gangguan tidur. Dalam penelitian
dilaporkan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar 15% dari total populasi
mengalami insomnia serius (Herri Zan Pieter, S.Psi. dkk . 2011).
Insomnia adalah
ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya. Lansia
rentan terhadap insomnia karena perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap
4 (tidur dalam keluhan insomnia mencakup “ketidakmampuan untuk tertidur, sering
terbangun, ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari.
Karena insomnia merupakan gejala, maka perhatian harus diberikan pada
faktor-faktor biologis, emosional, dan medis yang berperan, juga pada kebiasaan
tidur yang buruk, (Mickey Stanley, dkk, 2006 ).
2.2.2
Gejala Insomnia
Gejala insomnia
dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Kesulitan memulai tidur (Initial insomnia).
Biasanya
disebabkan oleh adanya gangguan emosi/ ketegangan fisik, (misalnya : keletihan yang
berlebihan atau adanya penyakit yang mengganggu fungsi organ tubuh)
2.
Bangun terlalu awal (Early awakening)
Yaitu
dapat memulai tidur dengan normal, namun tidur mudah terputus dan bangun lebih
awal dari waktu biasanya, serta kemudian tidak bisa tidur lagi. Gejala ini
sering muncul seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau karena depresi
atau sebagainya.
3.
Mengantuk
Yaitu
rasa mengantuk yang muncul dipagi hari karena tidur yang tidak nyenyak pada
malam harinya.
4.
Resah
Perasaan
yang muncul yang dikarenakan kondisi fisik yang letih akibat tidur yang tidak
nyenyak.
5.
Sulit berkonsentrasi
Akibat
otak yang kurang istirahat karena tidur tidak nyenyak berakibat pada kondisi
dimana seseorang sulit berkonsentrasi.
6.
Gampang tersinggung
Kondisi
fisik yang lebih perasaan resah dan mengantuk menjadi satu pada seseorang
berakibat pada kondisi emosi yang tidak stabil atau cenderung mudah tersulut
emosinya (Herri Zan Pieter, dkk : 2011).
2.2.3
Faktor Penyebab Insomnia
Schneider, yang menjabat sebagai direktur medis di departement of psychiatry di cedars Sinai mengatakan bahwa
penderita dan ahli jiwa harus bisa menemukan penyebab yang sebenarnya dari
insomnia yang derita (Herri Zan Pieter, S.Psi. dkk : 2011).
Umunya insomnia disebabkan berbagai faktor :
1.
Faktor psikogenik
a. Masalah psikis pada seseorang seperti rasa rendah diri, perasaan
disingkirkan, tidak berguna, sampai keadaan depresi dapat menimbulkan insomnia.
b. Rasa cemas dan perasaan takut yang berlebihan, dapat pula mengakibatkan
kesulitan untuk tidur ataupun sering kali terbangun dari tidur. Begitu pula
dengan mimpi yang tidak menyenangkan dan menakutkan sering kali mengganggu
tidur seseorang.
c. Stress kejiwaan yang berhubungan dengan masalah perkawinan,
ketidakpuasan dalam pekerjaan, masalah financial dalam kelurga dan lain
sebagainya.
2.
Faktor fisik
a. Pekerjaan atau aktivitas terlampau
lama dan keras juga dapat mempengaruhi tidur seseorang.
b. Rasa sakit dan perasaan tidak menyenangkan dapat juga mempengaruhi
tidur seseorang.
c. Gangguan insomnia sering dijumpai pada masa anak dan pada usia lanjut.
Ketegangan pada bayi sering membangunkan bayi pada malam hari. Penyakit usia
lanjut, seperti diabetes mellitus, asma bronkiale, arterio-sklerosis, kesemuanya
dapat mengakibatkan insomnia.
3.
Faktor kepribadian
Rupanya pada penderita insomnia sering kali
terdapat corak keperibadian tertentu. Beberapa penelitian sudah berusaha
meneliti pola kepribadian penderita insomnia. Ternyata 80% dari pasien insomnia
itu ada 1 atau 2 skala mimpinya cenderung meningkat kearah patologik,
conversion, hysteria, psychopathic deviate dan hypochondriasi. Bentuk-bentuk
kepribadian ini menyebabkan internalisasi dari gangguan psikologik dan dapat
mengakibatkan insomnia.
2.2.4
Penggolongan insomnia
Menurut klasifikasi diagnostik dari WHO pada tahun
1990, insomnia dimasukkan dalam golongan DIMS (Discorder of Innitine and Maintaining Sleep), yang secara praktis diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu :
insomnia primer dan insomnia sekunder (Mickey Stanley dkk. 2007).
1.
Insomnia primer
Insomnia primer merupakan gangguan sulit tidur yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti. Sehingga dengan demikian, pengobatannya masih relatif sukar dilakukan dan
biasanya berlangsung lama atau kronis (Long
term insomnia). Insomnia primer ini sering menyebabkan semakin parahnya
gangguan sulit tidur tersebut. Sebagian penderita golongan ini mempunyai dasar
gangguan psikiatris, khususnya depresi ringan, menengah, sampai depresi berat.
Adapun sebagian penderita lain merupakan pecandu alkohol atau obat-obatan
terlarang (narkotik). Kelompok yang terakhir ini membutuhkan penangan yang
khusus secara terpandu mencakup perbaikan kondisi tidur (sleep invironment), pengobatan dan terapi kejiwaan (psikoterapi).
2.
Insomnia sekunder
Insomnia sekunder merupakan gangguan sulit tidur
yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti.
Gangguan tersebut dapat berupa faktor gangguan sakit fisik, maupun
gangguan kejiwaan (psikis). Pengobatan insomnia sekunder relatif mudah dilakukan,
terutama dengan menghilangnya penyebab utama terlebih dahulu. Insomnia sekunder
dapat dibedakan sebagai berikut :
1) Insomnia sementara (Transien
Insomnia)
Insomnia
sementara terjadi pada seseorang yang
termasuk dalam golongan orang yang bisa tidur normal, namun karena adanya
stress atau ketegangan sementara (misalnya karena adanya kebiasaan ataupun tempat tidur). Menjadi sulit
tidur, pada keadaan ini obat hipnotik dapat digunakan ataupun tidak tergantung
pada kemampuan adaptasi penderita terhadap lingkungan penyebab stress ketegangan
tersebut.
2) Insomnia jangka pendek (Short
Term Insomnia)
Insomnia
jangka pendek merupakan gangguan sulit tidur, yang terjadi pada para penderita
sakit fisik (misalnya kehilangan atau kematian orang terdekat). Biasanya
gangguan sulit tidur ini akan mudah sembuh beberapa saat kemudian setelah
terjadi adaptasi, pengobatan atau perbaikan suasana tidur dalam kondisi ini
pemakaian obat hipnotik dianjurkan dengan pemberian tidak melebihi tiga minggu
(paling baik dilakukan satu minggu saja).
3) Long Term Insomnia
Long term insomnia adalah
insomnia kronik. Insomnia ini dapat berlangsung dalam waktu berbulan- bulan
sampai bertahun-tahun dan perlu diobati dengan teknik tertentu sesuai dengan
gangguan utama yang diderita pasien.
2.2.5
Penatalaksanaan
Insomnia
1.
Berolahraga teratur.
Olahraga sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan bukan beberapa menit menjelang
tidur.
2.
Hindari makan dan
minum terlalu banyak menjelang tidur.
Makanan yang terlalu banyak menyebabkan perut menjadi tidak
nyaman, sementara minum yang terlalu banyak akan menyebabkan buang air kecil.
3.
Tidur dalam
lingkungan yang nyaman.
4.
Mengurangi konsumsi
minuman yang bersifat stimulan atau yang membuat terjaga seperti teh, kopi,
alkohol, dan rokok.
5.
Makan-makanan ringan yang
mengandung sedikit karbohidrat menjelang tidur, bila tersedia, dan tambahkan
segelas susu hangat.
6. Mandi dengan air
hangat 30 menit sebelum tidur. Mandi air hangat akan menyebabkan efek sedasi
atau merangsang tidur. Selain itu, mandi air hangat mengurangi ketegangan
tubuh.
7.
Hentikan menonton
TV, membaca buku, setidaknya sejam sebelum tidur. Gunakan tempat tidur khusus
untuk tidur. Hal ini, membantu tubuh menyesuaikan diri pada lingkungan tempat
tidur.
8.
Lakukan aktivitas
relaksasi dengan rutin. Mendengar musik, melatih pernapasan, meditasi, dan akan
membantu memperlambat proses yang terjadi dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih santai.
9.
Hilangkan segala
kekhawatiran yang menghinggapi pikiran. Tidur dan bangun dala periode waktu
yang teratur. Waktu tidur yang kacau akan mengacaukan waktu tidur selanjutnya (Herri Zan Pieter dkk. 2011).
2.2.6
Insomnia
Rating Scale
Insomnia
Rating Scale
adalah kuisioner penelitian yang digunakan untuk mengukur gangguan pola tidur
khususnya insomnia.
1.
Lamanya tidur
1)
Tidur > 6,5 jam
2)
Tidur dari 5,5 jam sampai 6,5 jam
3)
Tidur dari 4,5
jam sampai 5,5 jam
4)
Tidur <
4,5 jam
2.
Mimpi-mimpi
1)
Tidak bermimpi sama sekali
2)
Terkadang bermimpi dan mimpi yang menyenangkan
3)
Bermimpi dan mimpi yang menyenangkan
4)
Bermimpi dan mimpi yang mengganggu
5)
Selalu mimpi buruk dan tidak menyenagkan
3.
Kualitas tidur
1)
Tidur
sangat lelap dan sulit terbangun
2)
Tidur
nyenyak dan sulit terbangun
3)
Tidur
tidak nyenyak, dan sangat mudah untuk terbangun
4.
Memulai tidur
1)
Memulai
tidur kurang kurang dari 5 menit
2)
Memulai
tidur antara 6 menit sampai 15 menit
3)
Memulai
waktu tidur antara 16-29 menit
4)
Memulai
waktu tidur antara 30-44 menit
5)
Memulai
waktu tidur antara 45-60 menit
6)
Memulai
waktu tidur lebih dari 60 menit
5.
Bangun malam hari
1)
Tidak
terbangun sama sekali
2)
Terbangun
1-2 kali
3)
Terbangun
3-4 kali
4)
Terbangun
lebih dari 4 kali
6.
Waktu untuk kembali
tidur setelah bangun malam hari
1)
Kurang
dari 5 menit
2)
Antara
6-15 menit
3)
Antara
16-60 menit
4)
Lebih
dari 1 jam
7.
Bangun dini hari
1)
Bangun
pada waktu biasa
2)
30
menit lebih cepat dari biasanya dan tidak bisa tidur kembali
3)
Bangun
satu jam lebih cepat dan tidak bisa tidur lagi
4)
Lebih
dari 1 jam bangun lebih awal dan tidak dapat tidur kembali
8.
Perasaan segar di
waktu bangun
1)
Perasaan
segar
2)
Tidak
begitu segar
3)
Tidak
segar sama sekali
Klasifikasi gangguan tidur (insomnia):
< 10 = tidak mengalami insomnia
>10 = mengalami
insomnia
(Siti Aspuah, 2013)
2.3 Konsep Guided
Imagery (Imajinasi Terbimbing)
2.3.1 Pengertian Guided
Imagery
Imajinasi
didefinisikan sebagai “penggunaan manfaat kekuatan imajinasi secara sadar
dengan maksud mengaktifkan penyembuhan biologis, psikologis, atau spiritual”
(Kozier, 2010 : 499). Individu berespons baik terhadap citra yang dapat menghasilkan
perubahan fisik, mental, emosional, dan spiritual. Sebagian besar citra tidak
disadari dan dapat menghasilkan perubahan. Imajinasi yang disadari melibatkan
penciptaan citra mental apa yang diinginkan dan dapat dibangkitkan dari
ingatan, mimpi, khayalan, dan harapan. Meskipun sering kali dianggap sebagai
visualisasi, imajinasi dapat melibatkan semua indra-melihat, mendengar,
merasakan, meraba, atau bahkan mengecap citra yang tercipta.
Imajinasi
terbimbing (guided imagery) adalah sebuah teknik relaksasi yang
bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan perasaan tenang dan damai
serta merupakan obat penenang untuk situasi yang sulit dalam kehidupan.
Imajinasi terbimbing atau imajinasi mental merupakan suatu teknik untuk
mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan
bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council, 2004).
Guided
imagery adalah proses yang
menggunakan kekuatan pikiran dengan menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri
dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan
semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter
& Perry, 2005 :
1503).
2.3.2 Dasar Guided
Imagery
Imajinasi merupakan
bahasa yang digunakan oleh otak untuk berkomunikasi dengan tubuh. Segala
sesuatu yang kita lakukan akan diproses oleh tubuh melalui bayangan. Imajinasi
terbentuk melalui rangsangan yang diterima oleh berbagai indera seperti gambar
aroma, rasa suara dan sentuhan (Holistic-online, 2006). Respon tersebut timbul
karena otak tidak mengetahui perbedaan antara bayangan dan aktifitas nyata.
Penelitian membuktikan bahwa dengan menstimulasi otak melalui imajinasi dapat
menimbulkan pengaruh langsung pada system saraf dan endokrin (Tusek, 2000).
2.3.3 Manfaat Guided
Imagery
Guided imagery dapat bermanfaat untuk menurunkan kecemasan,
kontraksi otot dan menfasilitasi tidur (Black and Matassarin, 1998). Potter and
Perry (2005: 1503) juga
menyatakan imajinasi terbimbing (guided imagery) dapat meningkatkan
tidur. Teknik guided imagery digunakan untuk mengelola stres dan koping
dengan cara berkhayal atau membayangkan sesuatu.
Menurut Townsend (1977), manfaat guided imagery diantaranya
mengurangi stress dan kecemasan, mengurangi nyeri, mengurangi efek samping,
mengurangi tekanan darah tinggi, mengurangi level gula darah (diabetes),
mengurangi alergi dan gejala pernapasan, mengurangi sakit kepala, mengurangi
biaya rumah sakit, meningkatkan penyembuhan luka dan tulang, dan lain-lain
(Rahmayanti, Yeni. N, 2010).
2.3.4 Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Guided Imagery
Relaksasi dengan teknik
guided imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman dalam
tidurnya. Dengan melakukan nafas dalam secara perlahan, tubuh akan menjadi
lebih rileks. Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan
Corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang
kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelano-cortin (POMC)
sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar
pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang
mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Guyton and Hall, 2007 : 677).
Imajinasi
terbimbing (Guided Imagery) merupakan suatu teknik yang menuntut
seseorang untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang
disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh
berbagai indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang otak
menuju sensor thalamus. Ditalamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa otak,
sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus
sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke korteks serebri, dikorteks
serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis,
dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek
dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan sebagai penentu sinyal
sensorik dianggap penting atau tidak sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal
yang masuk adalah penting maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan.
Hal-hal yang disukai dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga
diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa bayangan tentang
hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah tersimpan akan muncul kembali
dan menimbulkan suatu persepsi dari pengalaman sensasi yang sebenarnya,
walaupun pengaruh / akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi
(Guyton and Hall, 2007 : 678).
Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada
tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur system limbik seseorang
dalam hubungan dengan alam sekitar dan pikiran. Berlandaskan pada informasi
ini, amigdala dianggap membantu menentukan pola respon perilaku seseorang
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dari hipokampus
rangsangan yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala. Amigdala mempunyai
serangkaian tonjolan dengan reseptor yang disiagakan untuk berbagai macam
neurotransmitter yang mengirim rangsangan kewilayah sentralnya sehingga
terbentuk pola respons perilaku yang sesuai dengan makna rangsangan yang
diterima (Guyton & Hall, 2007:
678).
Dengan relaksasi nafas dalam secara perlahan sehingga meningkatnya
enkephalin dan endorphin dan dengan adanya suatu rangsangan
berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai, lansia akan merasa lebih rileks
dan nyaman dalam tidurnya.
2.3.5 Prosedur Teknik
Relaksasi Guided Imagery
1.
Anjurkan klien mengenakan pakaian yang longgar.
2.
Tidur dengan posisi yang nyaman.
3.
Anjurkan klien untuk menutup mata dengan lembut.
4.
Minta klien menarik napas dalam dan perlahan untuk menimbulkan
relaksasi.
5.
Minta klien untuk menggunakan seluruh pancaindranya dalam
menjelaskan bayangan dan lingkungan bayangan tersebut.
6.
Mulailah membayangkan tempat yang menyenangkan dan dapat
dinikmati.
7.
Minta klien untuk
menjelaskan perasaan fisik dan emosional yang ditimbulkan oleh bayangannya, dan
bantu klien untuk mengekplorasi respons terhadap bayangannya.
8.
Ulangi 10 sampai
15 menit sampai Anda tertidur.
9.
Ciptakan
lingkungan yang sunyi dan bebas dari gangguan (Berman, 2009).
Sebaiknya
dilakukan pada waktu kita kesulitan untuk memulai tidur. Untuk mendapatkan
hasil yang optimal dalam relaksasi, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu :
posisi yang nyaman, pikiran yang tenang dan lingkungan yang nyaman. Dengan
melakukan latihan selama tujuh hari, pemenuhan kebutuhan tidur dapat terpenuhi
baik kualitas maupun kuantitasnya.
2.4 Hubungan
Guided Imagery dengan Insomnia
Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang, mengalami
kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur atau tidur singkat
atau tidur non restoratife. Penderita insomnia mengeluarkan rasa ngantuk yang
berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas tidurnya tidak cukup.
Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau psikologis. Seseorang dapat
mengalami insomnia transient akibat stress situsional seperti masalah keluarga,
kerja, sekolah, kehilangan orang yang dicintai. Namun, kasus insomnia temporer akibat
situasi stress dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang
cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecemasan yang terjadi untuk
mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Perry dan Potter, 2005). Menurut Lumbantobing,
2004 insomnia merupakan keadaan dimana seseorang yang tidur, mengalami
kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan keadaan
tidur, dan bangunnya terlalu pagi.
Menurut Amir (2007) lansia menghabiskan waktunya lebih
banyak di tempat tidur, mudah jatuh tidur, tetapi juga mudah terbangun dari
tidurnya. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada
gelombang lambat, terutama stadium 4, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya
frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena
seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia
sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa
muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia
ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total
lansia hampir sama dengan dewasa muda.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi
gangguan tidur adalah dengan guided
imagery (imajinasi terbimbing) karena teknik ini tidak menimbulkan efek
samping (aman dan nyaman). Menurut Healthwise
(2011) guided imagery yang dilakukan
dalam waktu 10 menit mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh
menjadi rileks. Pemberian terapi guided
imagery dapat diberikan di tempat tidur dalam waktu 10-15 menit diberikan
oleh berbagai layanan kesehatan terlatih dengan biaya yang murah, hasil
penelitian telah terbukti mengurangi kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur.
No comments:
Post a Comment