Tuesday 10 January 2017

Hubungan Guided Imagery dengan Insomnia Pada Lansia

BAB I  PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Proses menua (aging) merupakan proses alami yang dihadapi manusia dimana terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik, emosional, psikososial yang tentunya akan mempengaruhi produktivitasnya. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu yang lanjut usia (Maryam, dkk, 2008). Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan pola tidur (insomnia), selama penuaan pola tidur akan mengalami perubahan yang khas yang membedakan dari orang yang lebih muda, perubahan-perubahan tersebut mencakup fase laten tidur, terbangun pada dini hari, peningkatan jumlah tidur siang dan kesulitan untuk tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat terbangun (Stanley, 2007).  Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak yang serius terhadap gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood, depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidur telah didiagnosis oleh dokter (Amir, 2007).
Sekitar seperempat dari populasi orang dewasa telah mengalami masalah tidur dan 6% sampai dengan 10% diperkirakan memiliki gangguan insomnia (National Sleep Foundation, 2012) Hasil survei Warwick Medical School dari Inggris terhadap Negara Negara di Afrika dan Asia diperoleh sekitar 150 juta orang dewasa mengalami gangguan tidur. Rata rata 16,6 % kasus insomnia diantara negara-negara yang disurvei tersebut. Angka ini mendekati Negara Negara barat yaitu sekitar 20% (Wardana, 2012). Di Indonesia, pada tahun 2010 ditemukan sebesar 36% untuk lansia laki-laki dan 54% lansia perempuan mengeluhkan insomnia. Hanya 26% lansia laki-laki dan 21% lansia perempuan yang melaporkan tidak mengalami kesulitan untuk tidur (Zeidler, MR, 2011).  Di Jawa Timur kejadian insomnia lansia pada tahun 2010 mencapai sekitar 10 % dari seluruh jumlah lansia di Jawa timur dan 3% diantaranya mengalami gangguan yang serius (Yunita, 2011).
Gangguan tidur merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dihadapi oleh lansia. Kondisi ini membutuhkan perhatian yang serius. Buruknya kualitas tidur lansia disebabkan oleh meningkatnya latensi tidur, berkurangnya efisiensi tidur dan terbangun lebih awal karena proses penuaan. Proses penuaan tersebut menyebabkan penurunan fungsi neurontransmiter yang ditandai dengan menurunnya distribusi norepinefrin. Hal itu menyebabkan perubahan irama sirkadian, dimana terjadi perubahan tidur lansia pada fase NREM 3 dan 4. sehingga lansia hampir tidak memiliki fase 4 atau tidur dalam (Khasanah dan Hidayati, 2012). Lansia membutuhkan kualitas tidur yang baik untuk meningkat kan kesehatan dan memulihkan kondisi dari sakit. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan gangguan-gangguan antara lain, seperti : kecenderungan lebih rentan terhadap penyakit, pelupa, konfusi, disorientasi serta menurunnya kemampuan berkonsentrasi dan membuat keputusan. Hal ini tentu berdampak buruk terhadap kualitas hidup lansia. Oleh karena itu masalah kualitas tidur pada lansia harus segera ditangani (Olivera, 2010). Selain itu, kurang tidur itu sendiri dapat membuat orang cepat marah dan lebih sulit dalam bergaul. Bila tidur kurang lelap, maka tubuh akan merasa letih, lemah, dan lesu pada saat bangun sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Memperoleh tidur malam yang baik adalah penting, karena selain kita merasa segar, tetapi juga membantu seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas. Akibat orang yang mengalami masalah tidur adalah mengalami kesulitan berkonsentrasi, terganggu dalam pekerjaan atau relasi personal dan keluarga, mudah jengkel, selalu tetap merasa, mengantuk siang hari, selalu tetap terjaga, seperti dia tetap menonton televisi atau membaca, merasa lelah, bereaksi lambat, dan mudah emosional (Herri zan Pieter dkk, 2011).
Ada beberapa cara untuk menangani insomnia dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu farmakologi dan non farmakologi. Salah satu cara non farmakologi untuk menurunkan insomnia yaitu guided imagery. Relaksasi dengan teknik guided imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan melakukan nafas dalam secara perlahan, tubuh akan menjadi lebih rileks. Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Guyton and Hall, 2007). Oleh karena itu, guided imagery merupakan proses yang menggunakan kekuatan pikiran dengan menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter & Perry, 2005). Hal ini bertujuan untuk menciptakan keadaan relaksasi psikologis dan fisiologis untuk meningkatkan perubahan yang baik bagi tubuh. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Guided Imagery dengan Insomnia Pada Lansia”


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Konsep Lansia
2.1.1    Pengertian
Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Dimasa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah, 2011)
Menjadi tua (aging) yaitu proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut (Suardiman: 2011).
Membedakan tiga proses sentral, yaitu penuaan sebagai proses biologis (senescing), menjadi senior dalam masyarakat (elderling) atau penuaan sosial (elderling) dan penuaan psikologis subjektif (geronting) (Monks, F.J, 2006).

2.1.2    Batasan-Batasan Lanjut Usia
Mengenai kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara memuaskan. Dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur.
1.    Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
               Lanjut usia meliputi: Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60-74 tahun. Lanjut usia tua (old) antara 76-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
2.    Menurut Prof Dr. Ny Sumiati Ahmad Mohamad
               Membagi periodisasi biologis perkembangan manusia antara lain: 0-1 tahun adalah masa bayi, 1-6 tahun adalah masa prasekolah, 6-10 tahun adalah masa sekolah, 10-20 tahun adalah masa pubertas, 40-65 tahun adalah setengah umur atau pranesium, 65 tahun ke atas adalah masa lanjut usia atau senium (dalam Bandiyah, 2009).

2.1.3    Perubahan-perubahan Yang terjadi pada Lansia
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus-menerus. Berikut ini perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia (Mubarak, 2006):
1.    Perubahan kondisi fisik
                   Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya system pernapasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, system pengaturan tubuh, musculoskeletal, gastro intestinal, genitor urinaria, endokrin dan integumen. Dan masalah-masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia.
1)    Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar ukurannya, serta berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya intraseluler.
2)    Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak 10-20, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan sebagainya.
3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang seringkali merupakan keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan berkaitan dengan efek-efek kolateral seperti komunikasi yang buruk dengan pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan penyimpangan fungsional.
4)    Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.
5)    Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume kehilangan elastisitas pembuluh darah karena kurangnya efektivitas pembuluh darah feriver untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk keberdiri bisa mengakibatkan tekanan darah menurun menjadi mmHg yang mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resitensi dari pembuluh darah perifer.
2.    Perubahan kondisi mental
                   Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, serta situasi lingkungan. Intelegensi diduga secara umum makin mundur terutama faktor penolakan abstrak mulai lupa terhadap kejadian baru, masih terekam baik kejadian masa lalu.
3.    Perubahan psikososial
                   Masalah-masalah ini serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam, tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri untuk masa pensiun dengan menciptakan bagi dirinya sendiri berbagai bidang minat untuk memanfaatkan waktunya, masa pensiunnya akan memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya.
4.    Perubahan psikologis
                   Masalah psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain penurunan badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini di kenal apa yang di sebut disengagement theory, yang berarti ada penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain. Pemisahan diri hanya dilakukan baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistik dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Karena telah lanjut usia mereka sering dianggap terlalu lamban, dengan gaya reaksi yang lamban dan kesiapan dan kecepatan bertindak dan berfikir yang menurun. Daya ingat mereka memang banyak yang menurun dari lupa sampai pikun dan demensia, biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa mengenal hal-hal yang baru terjadi.

2.2     Konsep Insomnia
2.2.1    Pengertian Insomnia
                        Insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang dialami penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih, lelah sepanjang hari, secara terus menerus (lebih dari 10 hari) mengalami kesulitan tidur, selalu terbangun ditengah malam dan sulit kembali tidur. Ada 3 jenis gangguan insomnia, yakni susah tidur (sleep onset insomnia), selalu terbangun ditengah malam (sleep maintenance insomnia), dan selalu bangun jauh lebih cepat dari yang diinginkan (early awakening insomnia). Cukup banyak orang yang menderita satu dari ketiga jenis gangguan tidur. Dalam penelitian dilaporkan bahwa di Amerika Serikat terdapat sekitar 15% dari total populasi mengalami insomnia serius (Herri Zan Pieter, S.Psi. dkk . 2011).
                        Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya. Lansia rentan terhadap insomnia karena perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap 4 (tidur dalam keluhan insomnia mencakup “ketidakmampuan untuk tertidur, sering terbangun, ketidakmampuan untuk kembali tidur dan terbangun pada dini hari. Karena insomnia merupakan gejala, maka perhatian harus diberikan pada faktor-faktor biologis, emosional, dan medis yang berperan, juga pada kebiasaan tidur yang buruk, (Mickey Stanley, dkk, 2006 ).

2.2.2        Gejala Insomnia
            Gejala insomnia dapat dibedakan sebagai berikut :
1.        Kesulitan memulai tidur (Initial insomnia).
            Biasanya disebabkan oleh adanya gangguan emosi/ ketegangan fisik, (misalnya : keletihan yang berlebihan atau adanya penyakit yang mengganggu fungsi organ tubuh)
2.        Bangun terlalu awal (Early awakening)
                   Yaitu dapat memulai tidur dengan normal, namun tidur mudah terputus dan bangun lebih awal dari waktu biasanya, serta kemudian tidak bisa tidur lagi. Gejala ini sering muncul seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau karena depresi atau sebagainya.
3.        Mengantuk
                   Yaitu rasa mengantuk yang muncul dipagi hari karena tidur yang tidak nyenyak pada malam harinya.
4.        Resah
                   Perasaan yang muncul yang dikarenakan kondisi fisik yang letih akibat tidur yang tidak nyenyak.
5.        Sulit berkonsentrasi
                   Akibat otak yang kurang istirahat karena tidur tidak nyenyak berakibat pada kondisi dimana seseorang sulit berkonsentrasi.
6.        Gampang tersinggung
                   Kondisi fisik yang lebih perasaan resah dan mengantuk menjadi satu pada seseorang berakibat pada kondisi emosi yang tidak stabil atau cenderung mudah tersulut emosinya (Herri Zan Pieter, dkk : 2011).

2.2.3        Faktor Penyebab Insomnia 
Schneider, yang menjabat sebagai direktur medis di departement of psychiatry di cedars Sinai mengatakan bahwa penderita dan ahli jiwa harus bisa menemukan penyebab yang sebenarnya dari insomnia yang derita (Herri Zan Pieter, S.Psi. dkk : 2011).
Umunya insomnia disebabkan berbagai faktor :
1.        Faktor psikogenik
a.     Masalah psikis pada seseorang seperti rasa rendah diri, perasaan disingkirkan, tidak berguna, sampai keadaan depresi dapat menimbulkan insomnia.
b.     Rasa cemas dan perasaan takut yang berlebihan, dapat pula mengakibatkan kesulitan untuk tidur ataupun sering kali terbangun dari tidur. Begitu pula dengan mimpi yang tidak menyenangkan dan menakutkan sering kali mengganggu tidur seseorang.
c.     Stress kejiwaan yang berhubungan dengan masalah perkawinan, ketidakpuasan dalam pekerjaan, masalah financial dalam kelurga dan lain sebagainya.
2.        Faktor fisik
a.     Pekerjaan atau aktivitas terlampau lama dan keras juga dapat mempengaruhi tidur seseorang.
b.     Rasa sakit dan perasaan tidak menyenangkan dapat juga mempengaruhi tidur seseorang.
c.     Gangguan insomnia sering dijumpai pada masa anak dan pada usia lanjut. Ketegangan pada bayi sering membangunkan bayi pada malam hari. Penyakit usia lanjut, seperti diabetes mellitus, asma bronkiale, arterio-sklerosis, kesemuanya dapat mengakibatkan insomnia.

3.        Faktor kepribadian
Rupanya pada penderita insomnia sering kali terdapat corak keperibadian tertentu. Beberapa penelitian sudah berusaha meneliti pola kepribadian penderita insomnia. Ternyata 80% dari pasien insomnia itu ada 1 atau 2 skala mimpinya cenderung meningkat kearah patologik, conversion, hysteria, psychopathic deviate dan hypochondriasi. Bentuk-bentuk kepribadian ini menyebabkan internalisasi dari gangguan psikologik dan dapat mengakibatkan insomnia.

2.2.4        Penggolongan insomnia
Menurut klasifikasi diagnostik dari WHO pada tahun 1990, insomnia dimasukkan dalam golongan DIMS (Discorder of Innitine and Maintaining Sleep), yang secara praktis diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu : insomnia primer dan insomnia sekunder (Mickey Stanley dkk. 2007).
1.        Insomnia primer
Insomnia primer merupakan gangguan sulit tidur yang penyebabnya belum diketahui secara pasti. Sehingga dengan demikian, pengobatannya masih relatif sukar dilakukan dan biasanya berlangsung lama atau kronis (Long term insomnia). Insomnia primer ini sering menyebabkan semakin parahnya gangguan sulit tidur tersebut. Sebagian penderita golongan ini mempunyai dasar gangguan psikiatris, khususnya depresi ringan, menengah, sampai depresi berat. Adapun sebagian penderita lain merupakan pecandu alkohol atau obat-obatan terlarang (narkotik). Kelompok yang terakhir ini membutuhkan penangan yang khusus secara terpandu mencakup perbaikan kondisi tidur (sleep invironment), pengobatan dan terapi kejiwaan (psikoterapi).
2.        Insomnia sekunder
Insomnia sekunder merupakan gangguan sulit tidur yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti.
Gangguan tersebut dapat berupa faktor gangguan sakit fisik, maupun gangguan kejiwaan (psikis). Pengobatan insomnia sekunder relatif mudah dilakukan, terutama dengan menghilangnya penyebab utama terlebih dahulu. Insomnia sekunder dapat dibedakan sebagai berikut :
1)     Insomnia sementara (Transien Insomnia)
            Insomnia sementara terjadi pada seseorang  yang termasuk dalam golongan orang yang bisa tidur normal, namun karena adanya stress atau ketegangan sementara  (misalnya karena adanya kebiasaan ataupun tempat tidur). Menjadi sulit tidur, pada keadaan ini obat hipnotik dapat digunakan ataupun tidak tergantung pada kemampuan adaptasi penderita terhadap lingkungan penyebab stress ketegangan tersebut.
2)     Insomnia jangka pendek (Short Term Insomnia)
            Insomnia jangka pendek merupakan gangguan sulit tidur, yang terjadi pada para penderita sakit fisik (misalnya kehilangan atau kematian orang terdekat). Biasanya gangguan sulit tidur ini akan mudah sembuh beberapa saat kemudian setelah terjadi adaptasi, pengobatan atau perbaikan suasana tidur dalam kondisi ini pemakaian obat hipnotik dianjurkan dengan pemberian tidak melebihi tiga minggu (paling baik dilakukan satu minggu saja).
3)     Long Term Insomnia
           Long term insomnia adalah insomnia kronik. Insomnia ini dapat berlangsung dalam waktu berbulan- bulan sampai bertahun-tahun dan perlu diobati dengan teknik tertentu sesuai dengan gangguan utama yang diderita pasien.
2.2.5        Penatalaksanaan Insomnia
1.        Berolahraga teratur. Olahraga sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan bukan beberapa menit menjelang tidur. 
2.        Hindari makan dan minum terlalu banyak menjelang tidur.
       Makanan yang terlalu banyak menyebabkan perut menjadi tidak nyaman, sementara minum yang terlalu banyak akan menyebabkan buang air kecil.
3.        Tidur dalam lingkungan yang nyaman.
4.        Mengurangi konsumsi minuman yang bersifat stimulan atau yang membuat terjaga seperti teh, kopi, alkohol, dan rokok.
5.        Makan-makanan ringan yang mengandung sedikit karbohidrat menjelang tidur, bila tersedia, dan tambahkan segelas susu hangat.
6.   Mandi dengan air hangat 30 menit sebelum tidur. Mandi air hangat akan menyebabkan efek sedasi atau merangsang tidur. Selain itu, mandi air hangat mengurangi ketegangan tubuh.
7.        Hentikan menonton TV, membaca buku, setidaknya sejam sebelum tidur. Gunakan tempat tidur khusus untuk tidur. Hal ini, membantu tubuh menyesuaikan diri pada lingkungan tempat tidur.
8.        Lakukan aktivitas relaksasi dengan rutin. Mendengar musik, melatih pernapasan, meditasi, dan akan membantu memperlambat proses yang terjadi dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih santai.
9.        Hilangkan segala kekhawatiran yang menghinggapi pikiran. Tidur dan bangun dala periode waktu yang teratur. Waktu tidur yang kacau akan mengacaukan waktu tidur selanjutnya (Herri Zan Pieter dkk. 2011).

2.2.6        Insomnia Rating Scale
Insomnia Rating Scale adalah kuisioner penelitian yang digunakan untuk mengukur gangguan pola tidur khususnya insomnia.
1.        Lamanya tidur
1)        Tidur  > 6,5 jam
2)        Tidur dari 5,5 jam sampai 6,5 jam
3)         Tidur dari 4,5 jam sampai 5,5 jam
4)         Tidur < 4,5 jam
2.        Mimpi-mimpi  
1)        Tidak bermimpi sama sekali
2)        Terkadang bermimpi dan mimpi yang menyenangkan
3)        Bermimpi dan mimpi yang menyenangkan
4)        Bermimpi dan mimpi yang mengganggu
5)        Selalu mimpi buruk dan tidak menyenagkan
3.        Kualitas tidur
1)        Tidur sangat lelap dan sulit terbangun
2)        Tidur nyenyak dan sulit terbangun
3)        Tidur tidak nyenyak, dan sangat mudah untuk terbangun 
4.        Memulai tidur
1)        Memulai tidur kurang kurang dari 5 menit
2)        Memulai tidur antara 6 menit sampai 15 menit
3)        Memulai waktu tidur antara 16-29 menit
4)        Memulai waktu tidur antara  30-44 menit
5)        Memulai waktu tidur antara  45-60 menit
6)        Memulai waktu tidur lebih dari 60 menit
5.        Bangun malam hari
1)        Tidak terbangun sama sekali
2)        Terbangun 1-2 kali
3)        Terbangun 3-4 kali
4)        Terbangun lebih dari 4 kali
6.        Waktu untuk kembali tidur setelah bangun malam hari
1)        Kurang dari 5 menit
2)        Antara 6-15 menit
3)        Antara 16-60 menit
4)        Lebih dari 1 jam
7.        Bangun dini hari
1)        Bangun pada waktu biasa
2)        30 menit lebih cepat dari biasanya dan tidak bisa tidur kembali
3)        Bangun satu jam lebih cepat dan tidak bisa tidur lagi
4)        Lebih dari 1 jam bangun lebih awal dan tidak dapat tidur kembali 
8.        Perasaan segar di waktu bangun
1)        Perasaan segar
2)        Tidak begitu segar
3)        Tidak segar sama sekali
Klasifikasi gangguan tidur (insomnia):
< 10 = tidak mengalami insomnia
>10 =  mengalami insomnia                               
(Siti Aspuah, 2013)

2.3   Konsep Guided Imagery (Imajinasi Terbimbing)
2.3.1    Pengertian Guided Imagery
                     Imajinasi didefinisikan sebagai “penggunaan manfaat kekuatan imajinasi secara sadar dengan maksud mengaktifkan penyembuhan biologis, psikologis, atau spiritual” (Kozier, 2010 : 499). Individu berespons baik terhadap citra yang dapat menghasilkan perubahan fisik, mental, emosional, dan spiritual. Sebagian besar citra tidak disadari dan dapat menghasilkan perubahan. Imajinasi yang disadari melibatkan penciptaan citra mental apa yang diinginkan dan dapat dibangkitkan dari ingatan, mimpi, khayalan, dan harapan. Meskipun sering kali dianggap sebagai visualisasi, imajinasi dapat melibatkan semua indra-melihat, mendengar, merasakan, meraba, atau bahkan mengecap citra yang tercipta.
                    Imajinasi terbimbing (guided imagery) adalah sebuah teknik relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan perasaan tenang dan damai serta merupakan obat penenang untuk situasi yang sulit dalam kehidupan. Imajinasi terbimbing atau imajinasi mental merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council, 2004).
                    Guided imagery adalah proses yang menggunakan kekuatan pikiran dengan menggerakkan tubuh untuk menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran (Potter & Perry, 2005 : 1503).

2.3.2    Dasar Guided Imagery
                        Imajinasi merupakan bahasa yang digunakan oleh otak untuk berkomunikasi dengan tubuh. Segala sesuatu yang kita lakukan akan diproses oleh tubuh melalui bayangan. Imajinasi terbentuk melalui rangsangan yang diterima oleh berbagai indera seperti gambar aroma, rasa suara dan sentuhan (Holistic-online, 2006). Respon tersebut timbul karena otak tidak mengetahui perbedaan antara bayangan dan aktifitas nyata. Penelitian membuktikan bahwa dengan menstimulasi otak melalui imajinasi dapat menimbulkan pengaruh langsung pada system saraf dan endokrin (Tusek, 2000).

2.3.3    Manfaat Guided Imagery
                        Guided imagery dapat bermanfaat untuk menurunkan kecemasan, kontraksi otot dan menfasilitasi tidur (Black and Matassarin, 1998). Potter and Perry (2005: 1503) juga menyatakan imajinasi terbimbing (guided imagery) dapat meningkatkan tidur. Teknik guided imagery digunakan untuk mengelola stres dan koping dengan cara berkhayal atau membayangkan sesuatu.
                        Menurut Townsend (1977), manfaat guided imagery diantaranya mengurangi stress dan kecemasan, mengurangi nyeri, mengurangi efek samping, mengurangi tekanan darah tinggi, mengurangi level gula darah (diabetes), mengurangi alergi dan gejala pernapasan, mengurangi sakit kepala, mengurangi biaya rumah sakit, meningkatkan penyembuhan luka dan tulang, dan lain-lain (Rahmayanti, Yeni. N, 2010).

2.3.4    Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Guided Imagery
Relaksasi dengan teknik guided imagery akan membuat tubuh lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan melakukan nafas dalam secara perlahan, tubuh akan menjadi lebih rileks. Perasaan rileks akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelano-cortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Guyton and Hall, 2007 : 677).
Imajinasi terbimbing (Guided Imagery) merupakan suatu teknik yang menuntut seseorang untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang otak menuju sensor thalamus. Ditalamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa otak, sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke korteks serebri, dikorteks serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan sebagai penentu sinyal sensorik dianggap penting atau tidak sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah penting maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal yang disukai dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan suatu persepsi dari pengalaman sensasi yang sebenarnya, walaupun pengaruh / akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi (Guyton and Hall, 2007 : 678).
Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur system limbik seseorang dalam hubungan dengan alam sekitar dan pikiran. Berlandaskan pada informasi ini, amigdala dianggap membantu menentukan pola respon perilaku seseorang sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dari hipokampus rangsangan yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala. Amigdala mempunyai serangkaian tonjolan dengan reseptor yang disiagakan untuk berbagai macam neurotransmitter yang mengirim rangsangan kewilayah sentralnya sehingga terbentuk pola respons perilaku yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima (Guyton & Hall, 2007: 678).
Dengan relaksasi nafas dalam secara perlahan sehingga meningkatnya enkephalin dan endorphin dan dengan adanya suatu rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai, lansia akan merasa lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya.

2.3.5    Prosedur Teknik Relaksasi Guided Imagery
1.      Anjurkan klien mengenakan pakaian yang longgar.
2.      Tidur dengan posisi yang nyaman.
3.      Anjurkan klien untuk menutup mata dengan lembut.
4.              Minta klien menarik napas dalam dan perlahan untuk menimbulkan relaksasi.
5.              Minta klien untuk menggunakan seluruh pancaindranya dalam menjelaskan bayangan dan lingkungan bayangan tersebut.
6.              Mulailah membayangkan tempat yang menyenangkan dan dapat dinikmati.
7.              Minta klien untuk menjelaskan perasaan fisik dan emosional yang ditimbulkan oleh bayangannya, dan bantu klien untuk mengekplorasi respons terhadap bayangannya.
8.              Ulangi 10 sampai 15 menit sampai Anda tertidur.
9.              Ciptakan lingkungan yang sunyi dan bebas dari gangguan (Berman, 2009).
Sebaiknya dilakukan pada waktu kita kesulitan untuk memulai tidur. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam relaksasi, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu : posisi yang nyaman, pikiran yang tenang dan lingkungan yang nyaman. Dengan melakukan latihan selama tujuh hari, pemenuhan kebutuhan tidur dapat terpenuhi baik kualitas maupun kuantitasnya.

2.4     Hubungan Guided Imagery dengan Insomnia
Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang, mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur atau tidur singkat atau tidur non restoratife. Penderita insomnia mengeluarkan rasa ngantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas tidurnya tidak cukup. Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau psikologis. Seseorang dapat mengalami insomnia transient akibat stress situsional seperti masalah keluarga, kerja, sekolah, kehilangan orang yang dicintai. Namun, kasus insomnia temporer akibat situasi stress dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecemasan yang terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Perry dan Potter, 2005). Menurut Lumbantobing, 2004 insomnia merupakan keadaan dimana seseorang yang tidur, mengalami kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit mempertahankan keadaan tidur, dan bangunnya terlalu pagi.
Menurut Amir (2007) lansia menghabiskan waktunya lebih banyak di tempat tidur, mudah jatuh tidur, tetapi juga mudah terbangun dari tidurnya. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium 4, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi gangguan tidur adalah dengan guided imagery (imajinasi terbimbing) karena teknik ini tidak menimbulkan efek samping (aman dan nyaman). Menurut Healthwise (2011) guided imagery yang dilakukan dalam waktu 10 menit mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi rileks. Pemberian terapi guided imagery dapat diberikan di tempat tidur dalam waktu 10-15 menit diberikan oleh berbagai layanan kesehatan terlatih dengan biaya yang murah, hasil penelitian telah terbukti mengurangi kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur.





No comments:

Post a Comment

Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa komponen yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Komponen PSQI d...