BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004).
Di negara berkembang anak-anak umur 1 - 5 tahun merupakan
golongan yang paling
rawan terhadap gizi. Anak-anak biasanya menderita
bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo, 2003).
Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Kekurangan zat gizi pada
anak disebabkan karena anak mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan badan anak atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi
dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif (Sjahmien, 2003)
Gizi buruk akut atau busung lapar menurut Sensus WHO menunjukkan 49% dari
10,4 juta kematian yang terjadi pada anak dibawah lima tahun di negara
berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat sebanyak 50% anak-anak di Asia, 30%
anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di Amerika Latin (Milly, 2013). Prevalensi balita menurut status gizi kurang di negara ASEAN
didapatkan Laos 48%, Kamboja 40% dan Indonesia 36% (Depkes RI, 2013). Pada
tahun 2010 terdapat 17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita
berstatus gizi kurang dan 4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita
dengan status gizi lebih (Depkes RI, 2013). Di Jawa Timur prevalensi status
gizi berdasarkan BB/U sebanyak 4,8% balita gizi buruk, 12,3% balita gizi
kurang, 75,3% balita gizi baik dan 7,6% gizi lebih (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan data Dinkes Banyuwangi tahun 2011
didapatkan status gizi berdasarkan BB/U sebanyak 1,61% balita gizi buruk, 1,86%
balita gizi kurang, 95,15% balita gizi baik dan 1,38% gizi lebih. Sedangkan di
wilayah kerja Puskesmas Kelir didapatkan status gizi berdasarkan BB/U sebanyak
3,23% balita gizi buruk, 1,25% balita gizi kurang, 93,75% balita gizi baik dan
1,77% gizi lebih (Dinkes Banyuwangi, 2012).
Pembentukan
pertumbuhan dan perkembangan pada masa usia dini tergantung pada asupan zat
gizi yang diterima. Kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfaatan sumber daya
manusia mempengaruhi faktor sosial ekonomi keluarga, termasuk kurangnya
pemberdayaan wanita dan tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya
ibu dalam mengasuh anaknya akan mempengaruhi status gizi keluarga (Arifin T,
2005). Faktor sosial ekonomi
keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga
sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah
makanan (Marimbi, 2010). Demikian juga
dengan status pendidikan ibu, misalnya tingkat pendidikan rendah akan
sulit untuk menerima arahan dalam
pemenuhan gizi dan mereka sering tidak
mau atau tidak meyakini
pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain
yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Gerungan,
2004).
Rendahnya status gizi jelas
berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi
memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi,
kematian ibu, dan produktivitas kerja. Menurut
Suhardjo (2003 dalam Aeda, 2006) terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi diantaranya adalah faktor langsung:
konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Serta faktor tidak langsung antara lain
tingkat pendapatan, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan. Sejalan dengan
Suhardjo, Almatsier (2002 dalam Anonim 2010) menyatakan bahwa berbagai faktor
sosial ekonomi akan mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi
tersebut antara lain: pendapatan keluarga, pekerjaan, pendidikan dan pemilikan
kekayaan atau fasilitas.
Upaya
penanggulangan gizi kurang yang dilakukan adalah peningkatan usaha pemberdayaan
keluarga untuk ketahanan pangan tingkat rumah tangga, peningkatan upaya
pelayanan gizi terpadu
dan sistem rujukan
dimulai dari tingkat Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu)
hingga puskesmas dan
rumah sakit, peningkatan komunikasi
informasi dan edukasi
di bidang pangan
dan gizi masyarakat dan
intervensi langsung kepada
sasaran melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT), distribusi
vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak beriodium (Aeda,
2006).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Sosial Ekonomi
2.1.1 Pengertian
Sosial
ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan. kebutuhan masyarakat,
antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Pemenuhan ke butuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan (MI Jaya, 2010).
Sosial
ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi keluarga harus
melalui variabel-variabel pendapatan
keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan (Notoatmodjo, 2005 : 68).
Status sosial
ekonomi merupakan suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dalam
posisi tertentu dalam struktur masyarakat, pemberian posisi ini disertai pula
seperangkat hak dan kewajiban yang hanya dipenuhi sipembawa statusnya,
misalnya: pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. (Soekanto, 2003).
Faktor sosial
ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga,
pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara
data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan
harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa, 2002).
2.1.2 Klasifikasi Status Sosial Ekonomi
Klasifikasi
status sosial ekonomi menurut Coleman & Cressey dalam Sumardi (2004)
adalah:
1. Status sosial
ekonomi atas
Status
sosial ekonomi atas adalah kelas sosial yang berada paling atas dari tingkatan
sosial yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang sering menempati
posisi teratas dari kekuasaan. Harta kekayaan yang dimiliki di atas rata-rata
masyarakat pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.
2. Status sosial
bawah
Status
sosial ekonomi bawah adalah kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh
berdasarkan penggolongan menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki
termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat pada umumnya
serta tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2.1.3 Variabel
yang diukur dalam sosial ekonomi
keluarga
a. Pendapatan
keluarga
Pendapatan
akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan ditemui dalam
masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi
yang tinggi terhadap kekayaan. Christopher dalam Sumardi (2004) mendefinisikan
pendapatan berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang
dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.
Terdapat hubungan antara pendapatan dan
keadaan status gizi. Hal itu karena
tingkat pendapatan merupakan faktor yang menetukan kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsi (FKM UI, 2007 : 176). Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada
besar kecilnya pendapatan keluarga.
Keluarga dengan pendapatan terbatas
kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya
terutama untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007 : 175).
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola
makan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian
besar pendapatan untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi
akan berkurang belanja untuk makanan (FKM UI, 2007 : 176). Hal ini akan
berdampak terhadap status gizi balita yang pada umumnya akan menurun (Depkes
RI, 2000 : 3 dalam Aeda 2006).
Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan
penduduk menjadi 4 golongan yaitu :
1)
Golongan pendapatan sangat tinggi adalah
jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan.
2)
Golongan pendapatan tinggi adalah jika
pendapatan rata-rata antara Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
3)
Golongan pendapatan sedang adalah jika
pendapatan rata-rata dibawah antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per
bulan
4) Golongan pendapatan rendah adalah jika
pendapatan rata-rata Rp. 1.500.000,00 per bulan.
Dari
keterangan diatas dapat dikatakan bahwa pendapatan juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat ekonomi seseorang. Apabila seseorang mempunyai pendapatan yang
tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ekonominya tinggi juga. Disamping
memiliki penghasilan pokok setiap Keluarga biasanya memiliki penghasilan lain
yang meliputi penghasilan tambahan dan penghasilan insidentil.
b. Pendidikan
ibu
Pendidikan
secara umum adalah upaya persuasi atau pembelajaran yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mau
melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi
masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan
kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses
pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).
Pendidikan
mempunyai pengaruh nyata terhadap kesehatan ibu. Hamil melalui usia perkawinan
dan pengetahuan akan gejala kehamilan dengan risiko tinggi. Perlu
dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah
tidaknya sesorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh.
Dalam kepentingan gizi keluarga pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih
tanggap terhadap adanya masalah gizi
didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Sandra & Syafiq,
2007).
Pendidikan
yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi pengetahuan dalam pengambilan
keputusan dan juga akan berpengaruh pada prilakunya. Ibu dengan pengetahuan
gizi yang baik kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup bagi dia dan
bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa ngidam,
di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan.
Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki pengetahuan yang
baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi gizinya dan juga bayinya (Proverawati
& Asfuah, 2009)
Pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).
Rendahnya pendidikan dan pengetahuan berpengaruh pada
tingkat kesadaran dan kesehatan, pencegahan penyakit (wanita dengan tingkat
pendidikan yang tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan dalam dan
keluarganya (Syafrudin & Mariam 2010).
Tingkat
pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan
kemungkinan akan meningkatkan pendapatan
sehingga dapat meningkatkan daya beli
makanan (FKM UI, 2007 : 276). Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan
informasi, misalnya hal-hal yang
menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
c. Pekerjaan
ibu
Dalam
kaitan ini Sukanto (2003) memberikan difinisi mengenai pekerjaan sebagai
berikut: Pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa bagi diri
sendiri atau orang lain, baik orang melakukan dengan dibayar atau tidak.
Selanjutnya Sumardi (2004) menjelaskan mengenai pekerjaan sebagai berikut:
Dengan bekerja orang akan memperoleh pendapatan. Pendapatan ini memberikan
kepadanya dan keluarganya untuk mengkonsumsi barang dan jasa hasil pembangunan
dengan demikian menjadi lebih jelas, barang siapa yang mempunyai produktif,
maka ia telah nyata berpartisipasi secara nyata dan aktif dalam pembangunan.
Wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan hal
ini sudah dibuktikan dalam dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai
pekerja, masalah yang dihadapi wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena
dalam diri wanita lebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan
hal-hal lain yang menyangkut seluruh aktivitas rumah tangganya. Pada
kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu, sekalipun
mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai
menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar (Anoraga,
2005).
Batasan ibu
yang bekerja adalah ibu-ibu yang melakukan aktivitas ekonomi mencari
penghasilan baik di sektor formal maupun
informal yang dilakukan secara reguler di luar rumah. Tentunya aktivitas
ibu yang bekerja akan berpengaruh
terhadap waktu yang dimiliki ibu untuk memberikan pelayanan/kasih sayang terhadap anaknya. Anak
yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional,
selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang maka keadaan gizinya
lebih baik dibandingkan dengan teman
sebayanya yang kurang mendapat perhatian orang tua (Depkes RI, 2002 : 11 dalam Aeda 2006).
Anak yang diasuh oleh nenek atau
tetangga bukan kerabat kemungkinan juga menjadi penyebab masalah gizi. Selain itu para ibu yang
mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada musim panen mereka pergi memotong
padi para pemilik sawah yang letak sawahnya jauh dari tempat
tinggal para ibu tersebut. Anak-anaknya terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga
kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Para ibu yang menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore. Dengan demikian pemberian ASI atau
makanan tambahan tidak dilakukan sebagaimana
mestinya (Pudjiadi S, 2001 : 105 dalam Aeda, 2006).
d. Jenis Tempat Tinggal
Menurut
Kaare Svalastoga dalam Sumardi (2004) untuk mengukur tingkat sosial ekonomi
seseorang dari rumahnya, dapat dilihat dari :
1) Status rumah yang ditempati, bias rumah
sendiri, rumah dinas, menyewa, menumpang pada saudara atau ikut orang lain.
2) Kondisi fisik bangunan, dapat berupa
rumah permanen, kayu dan bambu. Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi,
pada umumnya menempati rumah permanent, sedangkan keluarga yang keadaan sosial
ekonominya menengah kebawah menggunakan semi permanen atau tidak permanen.
3) Besarnya rumah yang ditempati, semakin
luas rumah yang ditempati pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial
ekonominya. Rumah dapat mewujudkan suatu tingkat sosial ekonomi bagi keluarga
yang menempati. Apabila rumah tersebut berbeda dalam hal ukuran kualitas rumah.
Rumah yang dengan ukuran besar, permanen dan milik pribadi dapat menunjukkan
bahwa kondisi sosila ekonominya tinggi berbeda dengan rumah yang kecil, semi
permanen dan menyewa menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya rendah.
2.2 Status
Gizi
2.2.1
Definisi Status Gizi
Status gizi
adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari
makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal dan gizi
lebih (Almatsier, 2005).
Pertumbuhan seorang anak bukan hanya
sekedar gambaran perubahan ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan
gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (status gizi). Oleh
karena itu pertumbuhan
merupakan indikator yang
baik dari perkembangan status
gizi anak (Depkes RI, 2002 dalam Aeda, 2006).
Masalah gizi
anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan
dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping
kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2009).
2.2.2 Klasifikasi
status gizi
Dalam menentukan status
gizi harus ada
ukuran baku yang
sering disebut reference. Baku
antropometri yang sekarang
digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics)
dengan melihat nilai Z-SCORE, sebagai berikut :
Tabel 2. 1
Klasifikasi Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
INDEKS
|
STATUS GIZI
|
AMBANG BATAS *)
|
Berat Badan
menurut
Umur (BB/U)
|
Gizi lebih
|
> + 2 SD
|
Gizi baik
|
≥ -2 SD sampai + 2 SD
|
|
Gizi kurang
|
< 2 SD sampai ≥– 3 SD
|
|
Gizi buruk
|
< - 3 SD
|
*) SD : Standar Deviasi
(Dinkes Jatim, 2005 : 1)
a. Status gizi lebih
Status gizi lebih
berkaitan dengan konsumsi makanan yang melebihi dari yang dibutuhkan terutama
konsumsi lemak yang tinggi dan makanan dari gula murni (Djaeini Ahcmad, 2000 :
27).
b. Status gizi baik
Status gizi baik
adalah kesesuaian antara jumlah asupan dengan kebutuhan gizi seorang anak (Santoso
Soegeng, 2004 : 3).
c. Status
gizi kurang
Status gizi kurang
pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan
asupan energi dan protein dalam
waktu tertentu (DepKes RI, 2002 : 2).
d. Status
gizi buruk
Bila kondisi gizi
kurang berlangsung lama maka akan berakibat semakin berat kekurangannya, dalam
keadaan ini dapat menjadi gizi buruk
(DepKes RI, 2000 : 6).
2.2.3 Metode
penilaian status gizi
Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung maupun tidak langsung :
a. Penilaian status gizi secara
langsung
Penilaian gizi
secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu :
1) Klinis
Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi.
2) Biokimia
Metode ini menggunakan
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris.
3) Biofisik
Metode penentuan
status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi
(khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa IDN, 2001 : 88).
4) Antropometri
Pengukuran antropometri adalah
pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh (FKM UI, 2007 : 264).
Antropometri sebagai indikator
status gizi dapat digunakan dalam memberikan indikasi tentang kondisi sosial
ekonomi penduduk (Wijono Djoko, 2000 : 68).
Antropometri sebagai indikator
status gizi dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter (Supariasa
IDN, 2001 : 38). Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri
(Supariasa IDN, 2001 : 56).
Indeks antropometri
yang digunakan adalah berat badan
menurut umur (BB/U).
a) Berat
badan
Pada masa
bayi-balita, berat badan dapat
dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Penentuan berat badan
dilakukan dengan cara menimbang. Alat
ukur yang digunakan di lapangan
sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan
mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ketempat
lain, mudah diperoleh dan relatif murah harganya, ketelitian penimbangan
sebaiknya 0,1 kg, skalanya mudah dibaca dan cukup aman untuk menimbang
badan anak balita. Alat yang dapat
memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam
penimbangan anak balita adalah dacin (Supariasa
IDN, 2001 : 39).
b) Umur
Faktor umur sangat
penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan dapat menyebabkan interpretasi
status gizi yang salah. Cara menghitung umur yaitu dengan menentukan tanggal,
hari, bulan dan tahun pada waktu anak ditimbang
kemudian dikurangi tanggal, hari, bulan
dan tahun anak waktu lahir sehingga didapat
umur anak. Bila kelebihan atau kekurangan hari sebanyak 16 hari sampai 30 hari dibulatkan 1
bulan. Bila kelebihan atau kekurangan 1
hari sampai 15 hari dibulatkan menjadi 0 bulan (Supariasa IDN, 2001 : 38).
b. Penilaian status gizi secara
tidak langsung.
1) Survey
konsumsi makanan
Adalah
metode penentuan status gizi dengan melihat
jumlah dan jenis bahan makanan atau zat gizi yang dikonsumsi.
2) Statistik
vital
Adalah menganalisis data
beberapa statistik kesehatan.
3) Faktor
ekologi
Adalah hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
(Supariasa
IDN, 2001 : 20)
2.2.4 Cara
penilaian status gizi
a.
Nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U
atau BB/TB) dibandingkan dengan nilai
rujukan WHO-NCHS.
b. Dengan menggunakan batas ambang (cut-off
point) untuk masing-masing
indeks, maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan.
c. Istilah
gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar tidak terjadi kerancuan interpretasi.
(Dinkes Jatim, 2005 : 1)
2.2.5 Faktor-faktor
yang mempengaruhi status gizi
a. Ketersediaan
pangan ditingkat keluarga
Status gizi
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, hal ini sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota
keluarga untuk mencapai gizi baik dan hidup
sehat (Depkes RI, 2004 : 19). Jika tidak cukup bisa dipastikan konsumsi
setiap anggota keluarga tidak
terpenuhi (Depkes RI, 2002 : 13).
b. Pola
asuh keluarga
Yaitu pola
pendidikan yang diberikan pada anak-anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta,
perhatian, kasih sayang yang akan
berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan emosional. Pola asuh terhadap anak
berpengaruh terhadap timbulnya masalah
gizi.Perhatian cukup dan pola asuh yang
tepat akan memberi
pengaruh yang besar dalam memperbaiki
status gizi (Herwin B, 2004).
Anak yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional
misalnya selalu mendapat senyuman,
mendapat respon ketika berceloteh,
mendapatkan ASI dan makanan yang
seimbang maka keadaan gizinya
lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang
kurang mendapatkan perhatian orang tuanya (Depkes RI, 2002 : 12).
c. Kesehatan lingkungan
Masalah
gizi timbul tidak hanya karena dipengaruhi oleh ketidakseimbangan asupan
makanan, tetapi juga
dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Masalah kesehatan
lingkungan merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air
bersih dan perilaku
hidup bersih dan sehat akan mengurangi resiko kejadian penyakit infeksi (Depkes RI, 2002 : 12).
Sebaliknya, lingkungan yang buruk seperti
air minum tidak
bersih, tidak ada saluran penampungan air limbah, tidak menggunakan
kloset yang baik dapat menyebabkan penyebaran penyakit.
Infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu
makan sehingga menyebabkan
asupan makanan menjadi rendah
dan akhirnya menyebabkan
kurang gizi (FKM UI, 2007 : 276).
d. Pelayanan
kesehatan dasar
Pemantauan
pertumbuhan yang diikuti dengan tindak
lanjut berupa konseling, terutama oleh petugas kesehatan berpengaruh pada pertumbuhan anak.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan seperti penimbangan balita, pemberian
suplemen kapsul vitamin A, penanganan
diare dengan oralit serta imunisasi (Depkes RI, 2002 : 12).
e. Budaya
keluarga
Budaya
berperan dalam status gizi masyarakat karena
ada beberapa kepercayaan seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh
kelompok umur tertentu yang sebenarnya
makanan tersebut justru bergizi
dan dibutuhkan oleh kelompok umur tertentu (FKM UI, 2007 : 277). Unsur-unsur
budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan
makan masyarakat yang
kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Misalnya, terdapat budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu
untuk mengonsumsi hidangan
keluarga yang telah
disiapkan yaitu umumnya kepala
keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat berakibat timbulnya
masalah gizi kurang terutama pada
golongan rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita (Suhardjo, 2008 : 9).
f. Sosial
ekonomi
Banyaknya
anak balita yang kurang gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di tanah air
disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi seimbang bagi anak
balita yang pada umumnya disebabkan pendidikan
orang tua yang rendah serta faktor kemiskinan. Kurangnya asupan gizi bisa
disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau
makanannya tidak memenuhi unsur gizi
yang dibutuhkan karena alasan sosial ekonomi yaitu kemiskinan.
2.2.6 Dampak
gizi tidak seimbang
a. Dampak gizi lebih
Obesitas
(gizi lebih) jika tidak teratasi akan berlanjut sampai remaja dan dewasa, hal
ini akan berdampak tingginya kejadian berbagai penyakit infeksi (Pudjiadi S,
2001 : 145). Pada orang dewasa tampak dengan semakin meningkatnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes
melitus, hipertensi dan penyakit hati (Almatsiar S, 2001 : 308).
b. Dampak gizi kurang
Pertumbuhan
fisik terhambat (anak akan mempunyai tinggi
badan lebih pendek), perkembangan mental dan kecerdasan terhambat,
daya tahan anak
menurun sehingga anak
mudah terserang penyakit infeksi (Depkes RI, 2002 : 8).
c. Dampak
gizi buruk
Gizi buruk
akan mempengaruhi banyak organ dan sistem organ yang akan merusak sistem pertahanan
tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik. Dampak selanjutnya dapat terjadi gangguan
pertumbuhan dan perkembangan mental serta
penurunan skor tes IQ
(Pudjiadi S, 2001 : 134).
Penurunan fungsi otak berpengaruh terhadap
kemampuan belajar, kemampuan anak bereaksi terhadap rangsangan
dari lingkungannya dan
perubahan kepribadian anak
(Moehji, 2003 : 10).
2.2.7
Penanggulangan masalah gizi tidak
seimbang
a. Masalah
gizi lebih atau obesitas
Penanggulangannya
adalah dengan menyeimbangkan masukan dan
keluaran energi melalui
pengurangan makan dan
penambahan latihan fisik atau olah raga serta menghindari tekanan hidup
atau stres (Almatsier S, 2005 : 308).
b. Masalah
gizi kurang
Penanggulangan
masalah gizi kurang perlu dilakukan
secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi melalui upaya-upaya
peningkatan pengadaan pangan,
penganekaragaman produksi
dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan
kesehatan masyarakat serta peningkatan
teknologi hasil pertanian
dan teknologi pangan (Almatsier S, 2001: 306).
c. Masalah
gizi buruk
Penanggulangan
masalah gizi buruk yang dilakukan antara lain : upaya pemenuhan
persediaan pangan nasional,
Peningkatan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan
sistem rujukan dimulai dari tingkat
posyandu hingga puskemas dan rumah sakit. Intervensi langsung pada sasaran
melalui Pemberian Makanan Tambahan
(PMT), distribusi kapsul
vitamin A dosis tinggi, tablet
dan sirup besi serta tablet iodium (Almatsier S, 2001 : 307).
2.3 Pengukuran
Berat Badan Terhadap Tinggi Bbadan (BBPTB).
2.3.1 Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak,
normal, kurus, kurus sekali atu gemuk.
2.3.2 Jadwal pengukuran BB/TB disesuaikan dengan jadwal deteksi dini tumbuh
kembang balita.
Pengukuran dan
penilaian BB/TB dilakukan oleh tenagakesehatan terlatih.
2.3.3 Pengukuran Berat Badan /BB :
2.3.3.1 Menggunakan
timbangan bayi.
1.
Timbangan bayi digunakan untuk menimbang anak sampai
umur 2 tahn atau selama anak masih bisa berbaring /duduk tenang.
2.
Letakkan timbangan pada meja yang datar dan tidak
mudah bergoyang.
3.
Lihat posisi jarum atau anka harus menujuk ke angka 0.
4.
Bayi sebaiknya telanjang, tanpa topi, kaus kaki,sarung
tangan.
5.
Baringkan bayi dengan hati-hati di atas timbangan.
6.
Lihat jarum timbangan sampainberhenti.
7.
Baca angka yang di tunjukkan oleh jarumtimbangan atau
angka timbangan
8.
Bila bayi terus menerus bergerak, perhatikan
pergerakan jarum, baca angka di tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan
ke kiri.
2.3.3.2 Menggunakan
timbangan injak.
1.
Letak kan timbanagan di lantai yang datar sehingga
tidak mudah bergerak.
2.
Lihat posisi jarum atau nagka harus menunjukkan ke
angka 0.
3.
Anak sebaiknya memakai baju sehari-hariyang tipis,tidak
memakai alas kaki, jaket, topi, jam tangan, kalung, dan tidak memegang sesuatu.
4.
Anak berdiri diatas timbanagn tanpa dipegangi.
5.
Lihat jarum timbangan sampai berhenti.
6.
Baca angka yang di tunjukkan oleh jarumtimbangan atau
angka timbangan
7.
Bila anak terus menerus bergerak, perhatikan
pergerakan jarum, baca angka di tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan
ke kiri.
2.3.4
Pengukuran pajang badan (PB) atau tinggi baan (TB)
2.3.4.1 Cara mengukur deng
posisi berbaring
1.
Sebaiknya dilakukan oleh 2 orang
2.
Bayi dibaringkan telentang pada alas yang datar
3.
Kepala bayi menempel pada pembatas angka 0
4.
Petugas 1 : kedua tangan memegang kepala bayi agar
tetap menempel pada pembatas angka 0 (pembatas kepala)
5.
Petugas 2 :tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus,
tangan kanan menekan batas kaki ke telapak kaki
6.
Petugas 2 membaca angka di tepi di luar pengukur
2.3.4.2 Cara menguur
dengan posisi berdiri :
1.
Anak tidak memakai sandal atau sepatu
2.
Berdiri tegak menghadap ke depan
3.
Punggung, pantat dan tumit menempel pada tiang
pengukur
4.
Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di
ubun-ubun
5.
Baca angka pada batas tersebut
2.3.4.3 Penggunaan tabel
BB/TB (Directorat Gizi Masyarakat 2002):
1.
Ukur tinggi/panjang dan timbang berat badan anak,
sesuai cara di atas
2.
Lihat kolom tinggi/panjang badan anak yang sesuai
dengan hasil pengukuran.
3.
Pilih kolom berat badan unutk laki-laki (kiri) atau
perempuan (kanan) sesua jenis kelamin anak, cari angka berat badan yang
terdekat dengan berat badan anak.
4.
Dari angka berat badan tersebut, lihat bagian atas
kolom untuk mengetahui angka standar Deviasi (SD).
2.4 Konsep Balita
2.4.1 Pengertian Balita
Anak balita
adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian
usia anak di
bawah lima tahun (Muaris.H, 2006).
Menurut Sutomo.
B. dan Anggraeni.
DY, (2010), Balita
adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah
(3-5 tahun). Saat usia batita,
anak masih tergantung penuh kepada orang
tua untuk melakukan kegiatan
penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah
baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa
balita merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan
pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan
pernah terulang, karena itu
sering disebut golden age atau
masa keemasan.
2.4.2 Tumbuh Kembang Balita
Secara umum
tumbuh kembang setiap
anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola
yang sama, yakni:
a. Pertumbuhan
dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian
bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari
kepala hingga ke ujung kaki, anak akan
berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar
menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang
tubuh ke arah luar.
Contohnya adalah anak akan lebih
dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu
meraih benda dengan jemarinya.
c. Setelah
dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan
lain-lain. Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif. Pada
konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan
intraseluler pada tubuh
anak. Dengan kata
lain, berlangsung proses multiplikasi organ
tubuh anak, disertai
penambahan ukuran-ukuran tubuhnya.
Hal ini ditandai oleh:
a. Meningkatnya
berat badan dan tinggi badan.
b. Bertambahnya
ukuran lingkar kepala.
c. Muncul
dan bertambahnya gigi dan geraham.
d. Menguatnya
tulang dan membesarnya otot-otot.
e. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya,
seperti rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan
ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak
harus drastis. Sebaliknya, berlangsung
perlahan, bertahap, dan terpola secara
proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan
ukuran tubuhnya, artinya proses
pertumbuhannya berlangsung baik.
Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya
gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.
Cara mudah
mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan
mengamati grafik pertambahan
berat dan tinggi
badan yang terdapat pada
Kartu Menuju Sehat
(KMS). Dengan bertambahnya usia anak,
harusnya bertambah pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya
yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan balita telah
dibuatkan standarisasinya oleh
Harvard University dan Wolanski.
Penggunaan standar tersebut di
Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai
untuk kasus anak Indonesia.
Perkembangan pada
masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri balita berlangsung
proses peningkatan dan pematangan
(maturasi) kemampuan personal dan kemampuan sosial.
a. Kemampuan
personal ditandai pendayagunaan
segenap fungsi alat-alat
pengindraan dan sistem
organ tubuh lain yang dimilikinya.
Kemampuan fungsi
pengindraan meliputi ;
1) Penglihatan, misalnya melihat,
melirik, menonton, membaca dan lain-lain.
2) Pendengaran, misalnya
reaksi mendengarkan bunyi,
menyimak pembicaraan dan lain-lain.
3) Penciuman,
misalnya mencium dan membau sesuatu.
4) Peraba, misalnya
reaksi saat menyentuh
atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain.
5) Pengecap, misalnya menghisap
ASI, mengetahui rasa
makanan dan minuman.
Pada sistem tubuh lainnya di antaranya meliputi :
1) Tangan,
misalnya menggenggam, mengangkat, melempar, mencoret-coret, menulis dan
lain-lain.
2) Kaki, misalnya menendang,
berdiri, berjalan, berlari dan lain-lain.
3) Gigi,
misalnya menggigit, mengunyah dan lain-lain.
4) Mulut, misalnya mengoceh, melafal,
teriak, bicara, menyannyi dan lain-lain.
5) Emosi, misalnya
menangis, senyum, tertawa,
gembira, bahagia, percaya diri,
empati, rasa iba dan lain-lain.
6) Kognisi, misalnya mengenal objek,
mengingat, memahami, mengerti, membandingkan dan lain-lain.
7) Kreativitas, misalnya
kemampuan imajinasi dalam
membuat, merangkai, menciptakan objek dan lain-lain.
b. Kemampuan
sosial.
Kemampuan sosial
(sosialisasi), sebenarnya efek
dari kemampuan personal yang
makin meningkat. Dari
situ lalu dihadapkan
dengan beragam aspek lingkungan
sekitar, yang membuatnya secara
sadar berinterkasi dengan lingkungan itu. Sebagai contoh pada anak yang
telah berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia
akan senang jika diajak bermain dengan
anak-anak lainnya, meskipun ia belum pandai dalam berbicara,
ia akan merasa
senang berkumpul dengan anak-anak
tersebut. Dari sinilah
dunia sosialisasi pada
ligkungan yang lebih luas
sedang dipupuk, dengan
berusaha mengenal teman-temannya itu.
4. Kebutuhan
Utama Proses Tumbuh Kembang
Dalam proses tumbuh
kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut
yakni; a. Kebutuhan akan gizi (asuh); b.
Kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih);
dan c. Kebutuhan stimulasi dini
(asah) (PN.Evelin dan Djamaludin. N. 2010).
a. Pemenuhan
kebutuhan gizi (asuh).
Usia
balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang merupakan
masa pertumbuhan dasar anak. Pada usia ini, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial,
emosional dan inteligensi anak berjalan
sangat cepat.
Pemenuhan
kebutuhan gizi dalam rangka menopang
tumbuh kembang fisik dan biologis balita
perlu diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan
yang diberikan mengandung zat-zat gizi
yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan
tingkat usia. Berimbang berarti komposisi
zat-zat gizinya menunjang
proses tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara
baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal.
Keterampilan fisiknya pun akan
berkembang sebagai dampak perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan
motoriknya.
Pemenuhan
kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem
imunitas tubuhnya sehingga
daya tahan tubuhnya
akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit.
b. Pemenuhan
kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
Kebutuhan
ini meliputi upaya orang tua
mengekspresikan perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman
dan nyaman kepada si anak. Orang tua perlu menghargai segala
keunikan dan potensi yang ada pada anak. Pemenuhan yang
tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama
dalam kemampuannya membina hubungan
yang hangat dengan orang lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi anak-anaknya. Melalui keteladanan tersebut anak
lebih mudah meniru
unsur-unsur positif, jauhi
kebiasaan memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat
diarahkan melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang.
c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Stimulasi
dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak
sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika anak masih
dalam kandungan dengan
tujuan agar tumbuh
kembang anak dapat berjalan dengan optimal.
Stimulasi
dini meliputi kegiatan merangsang
melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi dan
berkelanjutan, kegiatan mengajari
anak berkomunikasi, mengenal
objek warna, mengenal huruf dan angka.
Selain itu, stimulasi dini dapat
mendorong munculnya pikiran dan
emosi positif, kemandirian,
kreativitas dan lain-lain.
Pemenuhan
kebutuhan stimulasi dini secara baik
dan benar dapat merangsang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistic, kecerdasan
logis-matematis, kecerdasan spasial,
kecerdasan kinestetik,
kecerdasan musical, kecerdasan
intrapribadi (intrapersonal),
kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis.
2.5 Hubungan status sosial ekonomi
dengan status gizi anak usia 1-5 tahun
Masalah gizi di
Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak
seimbang maupun konsumsi keseluruhan
yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita (1 - 5 tahun) merupakan kelompok umur
yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi atau termasuk salah satu
kelompok masyarakat yang rentan gizi. Pada
usia pula, balita mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga
membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Bila
sampai terjadi kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan
dan gangguan perkembangan mental (Tarigan, 2003). Anak-anak
biasanya menderita bermacam-macam infeksi
serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo, 2003).
Masyarakat
harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka
sehingga anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
gizi (Sediaoetama, 2006).
Kemampuan
keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya
pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan
sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas
kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012). Hassan
dan Lanford (2009) status
sosial ekonomi dapat
ditunjukkan dengan
pendapatan keluarga, tingkat
pendidikan ayah dan
tingkat pendidikan ibu serta pekerjaan orang tua. Keterbatasan
penghasilan keluarga (Sosial ekonomi) turut menentukan mutu makanan yang
disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut
menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas
maupun jumlah makanan (Proverawati & Asfuah, 2009).
No comments:
Post a Comment