Saturday 14 January 2017

hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga terhadap status gizi pada balita usia 1 – 5 tahun

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Di negara berkembang anak-anak umur 1 -  5 tahun  merupakan  golongan  yang  paling  rawan  terhadap  gizi. Anak-anak biasanya menderita bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo, 2003). Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Kekurangan zat gizi pada anak disebabkan karena anak mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan anak atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif (Sjahmien, 2003)
Gizi buruk akut atau busung lapar menurut Sensus WHO menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat sebanyak 50% anak-anak di Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di Amerika Latin (Milly, 2013). Prevalensi balita menurut status gizi kurang di negara ASEAN didapatkan Laos 48%, Kamboja 40% dan Indonesia 36% (Depkes RI, 2013). Pada tahun 2010 terdapat 17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang dan 4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita dengan status gizi lebih (Depkes RI, 2013). Di Jawa Timur prevalensi status gizi berdasarkan BB/U sebanyak 4,8% balita gizi buruk, 12,3% balita gizi kurang, 75,3% balita gizi baik dan 7,6% gizi lebih (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan data Dinkes Banyuwangi tahun 2011 didapatkan status gizi berdasarkan BB/U sebanyak 1,61% balita gizi buruk, 1,86% balita gizi kurang, 95,15% balita gizi baik dan 1,38% gizi lebih. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kelir didapatkan status gizi berdasarkan BB/U sebanyak 3,23% balita gizi buruk, 1,25% balita gizi kurang, 93,75% balita gizi baik dan 1,77% gizi lebih (Dinkes Banyuwangi, 2012).
Pembentukan pertumbuhan dan perkembangan pada masa usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang diterima. Kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfaatan sumber daya manusia mempengaruhi faktor sosial ekonomi keluarga, termasuk kurangnya pemberdayaan wanita dan tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua khususnya ibu dalam mengasuh anaknya akan mempengaruhi status gizi keluarga (Arifin T, 2005). Faktor sosial ekonomi keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah  makanan (Marimbi, 2010). Demikian juga  dengan status pendidikan ibu, misalnya tingkat pendidikan rendah akan sulit  untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak  mau  atau tidak meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Gerungan, 2004).
Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja. Menurut Suhardjo (2003 dalam Aeda, 2006)  terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi  status  gizi diantaranya adalah faktor langsung: konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Serta faktor tidak langsung antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan. Sejalan dengan Suhardjo, Almatsier (2002 dalam Anonim 2010) menyatakan bahwa berbagai faktor sosial ekonomi akan mempengaruhi pertumbuhan anak. Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain: pendapatan keluarga, pekerjaan, pendidikan dan pemilikan kekayaan atau fasilitas.
Upaya penanggulangan gizi kurang yang dilakukan adalah peningkatan usaha pemberdayaan keluarga untuk ketahanan pangan tingkat rumah tangga, peningkatan  upaya  pelayanan  gizi  terpadu  dan  sistem  rujukan  dimulai  dari tingkat  Pos  Pelayanan  Terpadu  (Posyandu)  hingga  puskesmas  dan  rumah sakit,  peningkatan  komunikasi  informasi  dan  edukasi  di  bidang  pangan  dan gizi  masyarakat  dan  intervensi  langsung  kepada  sasaran  melalui  Pemberian Makanan Tambahan (PMT), distribusi vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta kapsul minyak beriodium (Aeda, 2006).


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


2.1.  Konsep Sosial Ekonomi
2.1.1    Pengertian
                                 Sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan. kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan ke butuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan (MI Jaya, 2010).
Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi keluarga harus melalui variabel-variabel pendapatan  keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan (Notoatmodjo, 2005 : 68).
Status sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat, pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang hanya dipenuhi sipembawa statusnya, misalnya: pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. (Soekanto, 2003).
Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim (Supriasa, 2002).

2.1.2    Klasifikasi Status Sosial Ekonomi
Klasifikasi status sosial ekonomi menurut Coleman & Cressey dalam Sumardi (2004) adalah:
1.    Status sosial ekonomi atas
                     Status sosial ekonomi atas adalah kelas sosial yang berada paling atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari orang-orang yang sangat kaya, yang sering menempati posisi teratas dari kekuasaan. Harta kekayaan yang dimiliki di atas rata-rata masyarakat pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.
2.    Status sosial bawah
                     Status sosial ekonomi bawah adalah kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata masyarakat pada umumnya serta tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2.1.3    Variabel yang diukur dalam sosial  ekonomi keluarga
a.  Pendapatan keluarga
Pendapatan akan mempengaruhi status sosial seseorang, terutama akan ditemui dalam masyarakat yang materialis dan tradisional yang menghargai status sosial ekonomi yang tinggi terhadap kekayaan. Christopher dalam Sumardi (2004) mendefinisikan pendapatan berdasarkan kamus ekonomi adalah uang yang diterima oleh seseorang dalam bentuk gaji, upah sewa, bunga, laba dan lain sebagainya.
                           Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status  gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menetukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi (FKM UI, 2007 : 176). Kemampuan keluarga untuk membeli  bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya  pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas  kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama  untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007 : 175).
              Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan (FKM UI, 2007 : 176). Hal ini akan berdampak terhadap status gizi balita yang pada umumnya akan menurun (Depkes RI, 2000 : 3 dalam Aeda 2006).
              Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu : 
1)   Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan.
2)   Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
3)   Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawah antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
4)   Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp. 1.500.000,00 per bulan.
Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap tingkat ekonomi seseorang. Apabila seseorang mempunyai pendapatan yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ekonominya tinggi juga. Disamping memiliki penghasilan pokok setiap Keluarga biasanya memiliki penghasilan lain yang meliputi penghasilan tambahan dan penghasilan insidentil.
b.  Pendidikan ibu
Pendidikan secara umum adalah upaya persuasi atau pembelajaran yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).
Pendidikan mempunyai pengaruh nyata terhadap kesehatan ibu. Hamil melalui usia perkawinan dan pengetahuan akan gejala kehamilan dengan risiko tinggi. Perlu dipertimbangkan bahwa faktor tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya sesorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dalam kepentingan gizi keluarga pendidikan amat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap  adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Sandra & Syafiq, 2007).
Pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu akan mempengaruhi pengetahuan dalam pengambilan keputusan dan juga akan berpengaruh pada prilakunya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik kemungkinan akan memberikan gizi yang cukup bagi dia dan bayinya. Hal ini terlebih lagi kalau seorang ibu tersebut memasuki masa ngidam, di mana perut rasanya tidak mau diisi, mual dan rasa yang tidak karuan. Walaupun dalam kondisi yang demikian jika seseorang memiliki pengetahuan yang baik maka ia akan berupaya untuk memenuhi gizinya dan juga bayinya (Proverawati & Asfuah, 2009) 
                 Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar  peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk  memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,  kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang  diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).
                           Rendahnya pendidikan dan pengetahuan berpengaruh pada tingkat kesadaran dan kesehatan, pencegahan penyakit (wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan dalam dan keluarganya (Syafrudin & Mariam 2010). 
          Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan kemungkinan akan  meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya  beli makanan (FKM UI, 2007 : 276). Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi,  misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

c.  Pekerjaan ibu
Dalam kaitan ini Sukanto (2003) memberikan difinisi mengenai pekerjaan sebagai berikut: Pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa bagi diri sendiri atau orang lain, baik orang melakukan dengan dibayar atau tidak. Selanjutnya Sumardi (2004) menjelaskan mengenai pekerjaan sebagai berikut: Dengan bekerja orang akan memperoleh pendapatan. Pendapatan ini memberikan kepadanya dan keluarganya untuk mengkonsumsi barang dan jasa hasil pembangunan dengan demikian menjadi lebih jelas, barang siapa yang mempunyai produktif, maka ia telah nyata berpartisipasi secara nyata dan aktif dalam pembangunan.
Wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan hal ini sudah dibuktikan dalam dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut seluruh aktivitas rumah tangganya. Pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu, sekalipun mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar (Anoraga, 2005).
              Batasan ibu yang bekerja adalah ibu-ibu yang melakukan aktivitas ekonomi mencari penghasilan baik di sektor formal  maupun informal yang dilakukan secara reguler di luar rumah. Tentunya aktivitas ibu  yang bekerja akan berpengaruh terhadap waktu yang dimiliki ibu untuk memberikan pelayanan/kasih  sayang terhadap anaknya.  Anak    yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional, selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan  dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian orang tua    (Depkes RI, 2002 : 11 dalam Aeda 2006). Anak yang diasuh oleh nenek atau  tetangga bukan kerabat kemungkinan juga menjadi penyebab  masalah gizi. Selain itu para ibu yang mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu misalnya  pada musim panen mereka pergi memotong padi  para pemilik  sawah yang letak sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anaknya terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Para ibu  yang menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan anaknya dari pagi sampai sore. Dengan demikian pemberian ASI atau makanan tambahan tidak dilakukan sebagaimana  mestinya (Pudjiadi S, 2001 : 105 dalam Aeda, 2006).

d.  Jenis Tempat Tinggal
Menurut Kaare Svalastoga dalam Sumardi (2004) untuk mengukur tingkat sosial ekonomi seseorang dari rumahnya, dapat dilihat dari :
1) Status rumah yang ditempati, bias rumah sendiri, rumah dinas, menyewa, menumpang pada saudara atau ikut orang lain.
2)  Kondisi fisik bangunan, dapat berupa rumah permanen, kayu dan bambu. Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi, pada umumnya menempati rumah permanent, sedangkan keluarga yang keadaan sosial ekonominya menengah kebawah menggunakan semi permanen atau tidak permanen.
3) Besarnya rumah yang ditempati, semakin luas rumah yang ditempati pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial ekonominya. Rumah dapat mewujudkan suatu tingkat sosial ekonomi bagi keluarga yang menempati. Apabila rumah tersebut berbeda dalam hal ukuran kualitas rumah. Rumah yang dengan ukuran besar, permanen dan milik pribadi dapat menunjukkan bahwa kondisi sosila ekonominya tinggi berbeda dengan rumah yang kecil, semi permanen dan menyewa menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya rendah.

2.2    Status Gizi
2.2.1    Definisi Status Gizi
                       Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal dan gizi lebih (Almatsier, 2005).
                    Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (status  gizi). Oleh  karena  itu  pertumbuhan  merupakan  indikator  yang  baik  dari perkembangan status gizi anak (Depkes RI, 2002 dalam Aeda, 2006).
                        Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2009).

2.2.2    Klasifikasi status gizi
Dalam  menentukan  status  gizi  harus  ada  ukuran  baku  yang  sering disebut  reference.  Baku  antropometri  yang  sekarang  digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS (World Health Organization-Nation Center for Health Statistics) dengan melihat nilai Z-SCORE, sebagai berikut :
Tabel 2. 1
Klasifikasi Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
INDEKS
STATUS GIZI
AMBANG BATAS *)
Berat Badan
menurut
Umur (BB/U)
Gizi lebih
> + 2 SD
Gizi baik
≥ -2 SD sampai + 2 SD
Gizi kurang
< 2 SD sampai ≥– 3 SD
Gizi buruk
< - 3 SD
*) SD : Standar Deviasi
(Dinkes Jatim, 2005 : 1)

a.  Status gizi lebih
                  Status gizi lebih berkaitan dengan konsumsi makanan yang melebihi dari yang dibutuhkan terutama konsumsi lemak yang tinggi dan makanan dari gula murni (Djaeini Ahcmad, 2000 : 27).
b.   Status gizi baik
                  Status gizi baik adalah kesesuaian antara jumlah asupan  dengan kebutuhan gizi seorang anak (Santoso Soegeng, 2004 : 3).
c.  Status gizi kurang
                  Status gizi kurang pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh  kekurangan  asupan energi dan  protein dalam waktu tertentu (DepKes RI, 2002 : 2).
d.  Status gizi buruk
                  Bila kondisi gizi kurang berlangsung lama maka akan berakibat semakin berat kekurangannya, dalam keadaan ini  dapat menjadi gizi buruk (DepKes RI, 2000 : 6).

2.2.3    Metode penilaian status gizi
                        Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung maupun tidak langsung :
a.   Penilaian status gizi secara langsung
                  Penilaian gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu :
1)  Klinis
      Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi.
2)  Biokimia
      Metode ini menggunakan pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris.
3)  Biofisik
      Metode  penentuan  status  gizi  dengan  melihat  kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur  dari jaringan (Supariasa  IDN, 2001 : 88).
4)  Antropometri
      Pengukuran antropometri adalah pengukuran terhadap dimensi tubuh dan komposisi tubuh (FKM UI, 2007 : 264).
      Antropometri sebagai indikator status gizi dapat digunakan dalam memberikan indikasi tentang kondisi sosial ekonomi penduduk (Wijono Djoko, 2000 : 68).  Antropometri  sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur  beberapa parameter (Supariasa  IDN, 2001 : 38). Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri (Supariasa  IDN, 2001 : 56).
                  Indeks antropometri yang digunakan adalah berat  badan menurut umur (BB/U).
a)  Berat badan
                  Pada masa bayi-balita, berat badan dapat  dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik  maupun status gizi. Penentuan berat badan dilakukan  dengan cara menimbang. Alat ukur yang digunakan di  lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan  mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat  ketempat  lain, mudah diperoleh dan relatif murah harganya, ketelitian penimbangan sebaiknya 0,1 kg, skalanya mudah dibaca dan cukup aman untuk  menimbang  badan  anak balita. Alat yang dapat memenuhi persyaratan dan kemudian dipilih dan dianjurkan untuk digunakan dalam penimbangan anak balita adalah dacin (Supariasa  IDN, 2001 : 39).
b)  Umur
                  Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan dapat menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Cara menghitung umur yaitu dengan menentukan tanggal, hari, bulan dan tahun  pada waktu anak ditimbang kemudian dikurangi tanggal,  hari, bulan dan tahun anak waktu lahir sehingga didapat  umur anak. Bila kelebihan atau kekurangan hari  sebanyak 16 hari sampai 30 hari dibulatkan 1 bulan. Bila  kelebihan atau kekurangan 1 hari sampai 15 hari dibulatkan menjadi 0 bulan (Supariasa  IDN, 2001 : 38).
b.   Penilaian status gizi secara tidak langsung.
      1)  Survey konsumsi makanan
                     Adalah metode penentuan status gizi dengan melihat  jumlah dan jenis bahan makanan atau zat gizi yang dikonsumsi.
      2)  Statistik vital
            Adalah menganalisis data beberapa statistik kesehatan.
      3)  Faktor ekologi
            Adalah hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
            (Supariasa  IDN, 2001 : 20)

2.2.4    Cara penilaian status gizi
a.   Nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U atau BB/TB)  dibandingkan dengan nilai rujukan WHO-NCHS.
b.   Dengan menggunakan batas ambang (cut-off  point) untuk  masing-masing indeks, maka status gizi seseorang atau anak dapat ditentukan.
c.  Istilah gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan  agar tidak terjadi kerancuan interpretasi.
      (Dinkes Jatim, 2005 : 1)

2.2.5    Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
a.  Ketersediaan pangan ditingkat keluarga
                Status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan  ditingkat keluarga, hal ini sangat tergantung dari cukup tidaknya  pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota keluarga untuk mencapai gizi baik dan hidup  sehat  (Depkes  RI, 2004 : 19).  Jika tidak cukup bisa dipastikan konsumsi setiap anggota    keluarga tidak terpenuhi (Depkes RI, 2002 : 13).
b.  Pola asuh keluarga
        Yaitu pola pendidikan yang diberikan pada anak-anaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih sayang yang  akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan  emosional. Pola asuh terhadap anak berpengaruh terhadap  timbulnya masalah gizi.Perhatian cukup dan pola asuh yang  tepat  akan  memberi  pengaruh yang besar  dalam  memperbaiki  status gizi (Herwin B,  2004). Anak yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu  mendapat senyuman, mendapat respon ketika berceloteh,  mendapatkan ASI dan  makanan  yang  seimbang  maka keadaan gizinya lebih  baik  dibandingkan dengan teman sebayanya  yang    kurang mendapatkan perhatian orang tuanya (Depkes RI, 2002 : 12).
c.  Kesehatan lingkungan
           Masalah gizi timbul tidak hanya karena dipengaruhi oleh ketidakseimbangan  asupan  makanan,  tetapi  juga  dipengaruhi  oleh  penyakit infeksi. Masalah kesehatan lingkungan merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Kesehatan  lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih  dan  perilaku    hidup bersih dan sehat akan mengurangi resiko kejadian  penyakit infeksi (Depkes RI, 2002 : 12). Sebaliknya, lingkungan yang  buruk  seperti  air  minum  tidak  bersih, tidak ada saluran penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang  baik  dapat menyebabkan penyebaran penyakit. Infeksi dapat menyebabkan  kurangnya  nafsu  makan  sehingga  menyebabkan  asupan makanan  menjadi  rendah  dan  akhirnya  menyebabkan  kurang  gizi (FKM UI, 2007 : 276).
d.  Pelayanan kesehatan dasar
                Pemantauan pertumbuhan yang diikuti dengan tindak  lanjut berupa konseling, terutama oleh petugas kesehatan  berpengaruh pada pertumbuhan anak. Pemanfaatan fasilitas kesehatan seperti penimbangan balita, pemberian suplemen  kapsul vitamin A, penanganan diare dengan oralit serta imunisasi (Depkes RI, 2002 : 12).
e.  Budaya keluarga
           Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena  ada beberapa kepercayaan seperti tabu mengonsumsi makanan  tertentu oleh  kelompok umur tertentu yang sebenarnya  makanan    tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh kelompok umur   tertentu (FKM UI, 2007 : 277). Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan  makan  masyarakat  yang  kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.  Misalnya, terdapat budaya yang memprioritaskan anggota keluarga  tertentu  untuk mengonsumsi hidangan  keluarga  yang  telah  disiapkan  yaitu umumnya kepala keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama dapat berakibat timbulnya masalah gizi kurang   terutama pada golongan rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak  balita (Suhardjo, 2008 : 9).
f.    Sosial ekonomi
                Banyaknya anak balita yang kurang gizi dan gizi buruk di sejumlah wilayah di tanah air disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi seimbang bagi anak balita yang pada umumnya disebabkan  pendidikan orang tua yang rendah serta faktor kemiskinan. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi  atau  makanannya tidak memenuhi unsur gizi  yang dibutuhkan  karena alasan sosial ekonomi yaitu kemiskinan.
2.2.6    Dampak gizi tidak seimbang
a.   Dampak gizi lebih
             Obesitas (gizi lebih) jika tidak teratasi akan berlanjut sampai remaja dan dewasa, hal ini akan berdampak tingginya kejadian berbagai penyakit infeksi (Pudjiadi S, 2001 : 145). Pada orang dewasa tampak dengan semakin meningkatnya penyakit  degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi  dan penyakit  hati (Almatsiar S, 2001 : 308).
b.   Dampak gizi kurang
              Pertumbuhan fisik terhambat (anak akan mempunyai tinggi badan lebih pendek), perkembangan mental dan kecerdasan terhambat, daya  tahan  anak  menurun  sehingga  anak  mudah  terserang  penyakit infeksi (Depkes RI, 2002 : 8).
c.  Dampak gizi buruk
                   Gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem organ yang akan merusak sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik. Dampak  selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan  mental  serta  penurunan skor  tes  IQ  (Pudjiadi  S, 2001 : 134). Penurunan fungsi otak berpengaruh terhadap  kemampuan belajar, kemampuan anak bereaksi terhadap  rangsangan  dari  lingkungannya  dan  perubahan  kepribadian anak (Moehji, 2003 : 10).
2.2.7    Penanggulangan masalah gizi tidak seimbang
a.  Masalah gizi lebih atau obesitas
               Penanggulangannya adalah dengan menyeimbangkan  masukan dan keluaran  energi  melalui  pengurangan  makan  dan  penambahan latihan fisik atau olah raga serta menghindari tekanan hidup atau stres (Almatsier S, 2005 : 308).
b.  Masalah gizi kurang
                Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan  secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi melalui  upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan,  penganekaragaman  produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat serta peningkatan  teknologi  hasil  pertanian  dan teknologi pangan (Almatsier S, 2001: 306).
c.  Masalah gizi buruk
                  Penanggulangan masalah gizi buruk yang dilakukan antara lain : upaya  pemenuhan  persediaan  pangan  nasional,  Peningkatan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK),  peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan  dimulai dari tingkat posyandu  hingga puskemas dan rumah  sakit. Intervensi langsung pada sasaran melalui Pemberian  Makanan  Tambahan  (PMT),  distribusi  kapsul  vitamin  A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta tablet iodium (Almatsier S, 2001 : 307).

2.3     Pengukuran Berat Badan Terhadap Tinggi Bbadan (BBPTB).
2.3.1 Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, normal, kurus, kurus sekali atu gemuk.
2.3.2 Jadwal pengukuran BB/TB disesuaikan dengan jadwal deteksi dini tumbuh kembang balita.
Pengukuran dan penilaian BB/TB dilakukan oleh tenagakesehatan terlatih.
2.3.3    Pengukuran Berat Badan /BB :
2.3.3.1  Menggunakan timbangan bayi.
1.      Timbangan bayi digunakan untuk menimbang anak sampai umur 2 tahn atau selama anak masih bisa berbaring /duduk tenang.
2.      Letakkan timbangan pada meja yang datar dan tidak mudah bergoyang.
3.      Lihat posisi jarum atau anka harus menujuk ke angka 0.
4.      Bayi sebaiknya telanjang, tanpa topi, kaus kaki,sarung tangan.
5.      Baringkan bayi dengan hati-hati di atas timbangan.
6.      Lihat jarum timbangan sampainberhenti.
7.      Baca angka yang di tunjukkan oleh jarumtimbangan atau angka timbangan
8.      Bila bayi terus menerus bergerak, perhatikan pergerakan jarum, baca angka di tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
2.3.3.2  Menggunakan timbangan injak.
1.      Letak kan timbanagan di lantai yang datar sehingga tidak mudah bergerak.
2.      Lihat posisi jarum atau nagka harus menunjukkan ke angka 0.
3.      Anak sebaiknya memakai baju sehari-hariyang tipis,tidak memakai alas kaki, jaket, topi, jam tangan, kalung, dan tidak memegang sesuatu.
4.      Anak berdiri diatas timbanagn tanpa dipegangi.
5.      Lihat jarum timbangan sampai berhenti.
6.      Baca angka yang di tunjukkan oleh jarumtimbangan atau angka timbangan
7.      Bila anak terus menerus bergerak, perhatikan pergerakan jarum, baca angka di tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
2.3.4        Pengukuran pajang badan (PB) atau tinggi baan (TB)
2.3.4.1  Cara mengukur deng posisi berbaring
1.      Sebaiknya dilakukan oleh 2 orang
2.      Bayi dibaringkan telentang pada alas yang datar
3.      Kepala bayi menempel pada pembatas angka 0
4.      Petugas 1 : kedua tangan memegang kepala bayi agar tetap menempel pada pembatas angka 0 (pembatas kepala)
5.      Petugas 2 :tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus, tangan kanan menekan batas kaki ke telapak kaki
6.      Petugas 2 membaca angka di tepi di luar pengukur
2.3.4.2  Cara menguur dengan posisi berdiri :
1.      Anak tidak memakai sandal atau sepatu
2.      Berdiri tegak menghadap ke depan
3.      Punggung, pantat dan tumit menempel pada tiang pengukur
4.      Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di ubun-ubun
5.      Baca angka pada batas tersebut
2.3.4.3  Penggunaan tabel BB/TB (Directorat Gizi Masyarakat 2002):
1.      Ukur tinggi/panjang dan timbang berat badan anak, sesuai cara di atas
2.      Lihat kolom tinggi/panjang badan anak yang sesuai dengan hasil pengukuran.
3.      Pilih kolom berat badan unutk laki-laki (kiri) atau perempuan (kanan) sesua jenis kelamin anak, cari angka berat badan yang terdekat dengan berat badan anak.
4.      Dari angka berat badan tersebut, lihat bagian atas kolom untuk mengetahui angka standar Deviasi (SD).

2.4     Konsep Balita  
2.4.1    Pengertian Balita
                           Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau  lebih  popular  dengan  pengertian  usia  anak  di  bawah  lima  tahun (Muaris.H, 2006). 
                           Menurut  Sutomo.  B.  dan  Anggraeni.  DY,  (2010),  Balita  adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak  prasekolah  (3-5 tahun).  Saat usia batita, anak masih tergantung  penuh kepada orang tua untuk  melakukan  kegiatan  penting,  seperti  mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan  sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa  balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang  manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di  periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan  masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang,  karena  itu  sering disebut golden age atau masa keemasan.

2.4.2    Tumbuh Kembang Balita
                           Secara  umum  tumbuh  kembang  setiap  anak  berbeda-beda,  namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
a.  Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian  bawah (sefalokaudal).
      Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan  berusaha  menegakkan  tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
b.   Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar.
      Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
c.  Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti  melempar, menendang, berlari dan lain-lain. Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler  pada  tubuh  anak.  Dengan  kata  lain,  berlangsung  proses multiplikasi  organ  tubuh  anak,  disertai  penambahan  ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
a.  Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
b.  Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
c.  Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
d.  Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
e.   Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh  ini tentu tidak harus  drastis. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola  secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati  penambahan  ukuran tubuhnya,  artinya  proses  pertumbuhannya  berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.
Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah  dengan  mengamati  grafik  pertambahan  berat  dan  tinggi  badan yang  terdapat  pada  Kartu  Menuju  Sehat  (KMS).  Dengan  bertambahnya usia  anak,  harusnya  bertambah  pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan  balita telah  dibuatkan  standarisasinya  oleh  Harvard  University dan Wolanski. Penggunaan standar tersebut  di Indonesia  telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak Indonesia.
Perkembangan pada masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri balita berlangsung proses  peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan personal dan kemampuan sosial. 
a.   Kemampuan  personal  ditandai  pendayagunaan  segenap  fungsi  alat-alat  pengindraan  dan  sistem  organ  tubuh  lain  yang  dimilikinya.
Kemampuan fungsi pengindraan meliputi ; 
1)   Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain.
2)   Pendengaran,  misalnya  reaksi  mendengarkan  bunyi,  menyimak pembicaraan dan lain-lain.
3)  Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu.
4)  Peraba,  misalnya  reaksi  saat  menyentuh  atau  disentuh,  meraba benda, dan lain-lain.
5)  Pengecap, misalnya  menghisap  ASI,  mengetahui  rasa  makanan dan minuman.
Pada sistem tubuh lainnya di antaranya meliputi :
1)   Tangan, misalnya menggenggam, mengangkat, melempar, mencoret-coret, menulis dan lain-lain.
2)  Kaki, misalnya menendang, berdiri, berjalan, berlari dan lain-lain.
3)  Gigi, misalnya menggigit, mengunyah dan lain-lain.
4)   Mulut, misalnya mengoceh, melafal, teriak, bicara, menyannyi dan lain-lain.
5)  Emosi,  misalnya  menangis,  senyum,  tertawa,  gembira,  bahagia, percaya diri, empati, rasa iba dan lain-lain.
6)   Kognisi, misalnya mengenal objek, mengingat, memahami, mengerti, membandingkan dan lain-lain.
7)  Kreativitas,  misalnya  kemampuan  imajinasi  dalam  membuat, merangkai, menciptakan objek dan lain-lain.
b.  Kemampuan sosial.
                  Kemampuan  sosial  (sosialisasi),  sebenarnya  efek  dari  kemampuan personal  yang  makin  meningkat.  Dari  situ  lalu  dihadapkan  dengan beragam  aspek  lingkungan  sekitar, yang  membuatnya  secara  sadar berinterkasi  dengan  lingkungan itu. Sebagai contoh pada anak yang telah  berusia  satu tahun dan mampu berjalan,  dia  akan  senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya, meskipun ia belum pandai dalam  berbicara,  ia  akan  merasa  senang berkumpul  dengan  anak-anak  tersebut.  Dari  sinilah  dunia  sosialisasi  pada  ligkungan  yang lebih  luas  sedang  dipupuk,  dengan  berusaha  mengenal  teman-temannya itu.
4.  Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang
               Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni;  a. Kebutuhan akan gizi (asuh); b. Kebutuhan emosi dan  kasih sayang  (asih);  dan  c. Kebutuhan stimulasi dini (asah) (PN.Evelin dan Djamaludin. N. 2010).
a.  Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).
                  Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang merupakan masa  pertumbuhan  dasar anak. Pada usia ini, perkembangan kemampuan  berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional  dan inteligensi anak berjalan sangat cepat.
                  Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka  menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita  perlu diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan yang  diberikan mengandung zat-zat gizi yang  sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti komposisi  zat-zat  gizinya  menunjang  proses tumbuh kembang sesuai usianya. Dengan  terpenuhinya kebutuhan gizi  secara  baik,  perkembangan  otaknya akan berlangsung optimal. Keterampilan fisiknya  pun  akan  berkembang  sebagai  dampak perkembangan  bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya.
                  Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang baik, akan berdampak pada  sistem  imunitas  tubuhnya  sehingga  daya  tahan  tubuhnya  akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit.
b.   Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).
                  Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua  mengekspresikan perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman dan nyaman kepada si  anak.  Orang tua perlu menghargai segala keunikan  dan  potensi yang ada pada anak. Pemenuhan yang tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan  anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam  kemampuannya membina  hubungan  yang hangat dengan orang lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi anak-anaknya. Melalui  keteladanan  tersebut anak  lebih  mudah  meniru  unsur-unsur  positif,  jauhi  kebiasaan memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat diarahkan melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang.
c.  Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah).
                  Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini dianjurkan ketika anak  masih  dalam kandungan dengan  tujuan  agar  tumbuh  kembang anak dapat berjalan dengan optimal.
                  Stimulasi dini meliputi  kegiatan  merangsang  melalui sentuhan-sentuhan lembut secara bervariasi  dan  berkelanjutan, kegiatan mengajari  anak berkomunikasi,  mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka.  Selain itu, stimulasi  dini dapat mendorong munculnya  pikiran dan emosi  positif,  kemandirian,  kreativitas  dan lain-lain.
                  Pemenuhan kebutuhan stimulasi  dini secara  baik  dan  benar  dapat merangsang  kecerdasan majemuk  (multiple  intelligences)  anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan linguistic, kecerdasan logis-matematis,  kecerdasan  spasial,  kecerdasan  kinestetik, kecerdasan  musical,  kecerdasan  intrapribadi  (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis.


2.5    Hubungan status sosial ekonomi dengan status gizi anak usia 1-5 tahun
                        Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau  yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang  maupun konsumsi  keseluruhan  yang  tidak  mencukupi kebutuhan badan. Anak balita (1 -  5 tahun) merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi atau termasuk salah satu kelompok masyarakat yang  rentan  gizi.  Pada usia pula, balita mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan memadai. Bila sampai terjadi kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental (Tarigan, 2003).  Anak-anak  biasanya  menderita  bermacam-macam  infeksi  serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo, 2003).
                        Masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan  dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi (Sediaoetama, 2006).
                        Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Shafiq, 2012). Hassan dan Lanford  (2009)  status  sosial  ekonomi  dapat  ditunjukkan dengan  pendapatan  keluarga,  tingkat  pendidikan  ayah  dan  tingkat pendidikan ibu serta pekerjaan orang tua. Keterbatasan penghasilan keluarga (Sosial ekonomi) turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Proverawati & Asfuah, 2009).




No comments:

Post a Comment

Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa komponen yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Komponen PSQI d...