Wednesday 23 November 2016

Konsep Autisme

A. Pengertian Autisme
Autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi, dan bermain imajinatif, yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah 3 tahun. Mereka mempunyai keterbatasan pada level aktivitas dan interest. Hampir 75% dari anak autis mengalami beberapa derajat Retardasi Mental. Autisme biasanya muncul sejak tiga tahun pertama kehidupan seorang anak (Priyatna, 2010).
Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak pada anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya. Autisme merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri. Autis dapat terjadi di semua kalangan masyarakat (Veskarisyanti, 2008).
Autis adalah Suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007). 

B. Klasifikasi autisme
Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autism, diantaranya :
1. Aloof
Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
2. Passive
Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja.
3. Active but odd
Sedangkan pada tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya bersifat repetitif dan aneh.

C. Penyebab autisme
Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor, yaitu:
1. Kerusakan jaringan otak
Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika menyatakan bahwa korelasi antara autis dan cacat lahir yang disebabkan oleh Thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshe, menemukan bahwa pada anak yang terkena autis, bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan, atau pada saat kelahiran bayi. Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010).
2. Terlalu banyak vaksin Hepatitis B
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal.
3. Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah
Autis disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar, yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis. Beberapa teori yang didasarkan oleh beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. 

D. Perilaku autistik
Autisme merupakan sindroma yang sangat kompleks. Ditandai dengan ciri-ciri kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional, sulit dalam komunikasi timbale balik, minat terbatas, dan perilaku tidak disertai gerakan berulang tanpa tujuan (stereo-tipic).
Menurut Safaria (2005), menyebutkan 2 jenis perilaku autisme, yaitu :
1. Perilaku berlebihan (excessive) :
1) Perilaku melukai diri sendiri (self-abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri.
2) Agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit.
3) Tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis dan melompat-lompat.
2. Perilaku berkekurangan (deficit)
Yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, deficit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa autistime memiliki perilaku yang berlebihan (excessive) atau perilaku yang berkekurangan (deficit) yang memungkinkan perilaku yang ditunjukkan tersebut dapat menggangu orang-orang yang disekitarnya. 

E. Gangguan Anak Autisme
Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autisme adalah :
1. Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal
Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.
Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo (Ekolalia), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya (Yatim, 2007) .
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain, ia selalu menjauh bila didekati.
3. Gangguan dalam bermain
Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan aneh, misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas, gambar, kartu, atau guling, terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak spontan, reflex, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, atau angin yang bergerak (Yatim, 2007).
4. Perilaku yang ritualistic
Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila berpergian harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian, harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya (Yatim, 2007).
5. Hiperaktif
Anak dapat terlihat hiperaktif, misalnya mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri, seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding (walaupun tidak semua anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi pasif (pendiam), duduk diam, bengong dengan tatapan mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh perhatian pada suatu benda, ide, aktifitas, ataupun orang (Yatim, 2007).
6. Gangguan perasaan dan emosi
Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
7. Gangguan dalam persepsi sensoris
Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai ringan sampai berat, menggigit, menjilat, atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan (Yatim, 2007) 

F. Penanganan Autisme
Menurut Veskariyanti, (2008), gangguan otak pada anak autis umumnya tidak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat ditanggulangi ( treatable) melalui terapi dini, terpadu, dan intensif. Gejala autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul dengan normal. Jika anak autis terlambat atau bahkan tidak dilakukan intervensi dengan segera, maka gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Keberhasilan terapi tergantung beberapa faktor berikut ini :
1. Berat atau ringannya gejala, terganting pada berat-ringannya gangguan di dalam sel otak.
2. Makin muda umur anak pada saat terapi dimulai, tingkat keberhasilannya akan semakin besar. Umur ideal untuk dilakukan terapi atau intervensi adalah 2-5 tahun, pada saat sel otak mampu dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
3. Kemampuan bicara dan berbahasa: 20% penyandang autism tidak mampu bicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang mampu bicara tetapi sulit dan kaku. Namun, ada pula yang mampu bicara dengan lancar. Anak autis yang tidak mampu bicara (non verbal) bisa diajarkan ketrampilan komunikasi dengan cara lain, misalnya dengan bahasa isyarat atau melalui gambar-gambar.
4. Terapi harus dilakukan dengan sangat intensif, yaitu antara 4-8 jam sehari. Di samping itu, seluruh keluarga harus ikut terlibat dalam melakukan komunikasi dengan anak.
Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain :
1. Terapi obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang. Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang (Veskariyanti, 2008).
Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti depresan SSRI ( Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping. Pemakaian obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi, bahkan dihentikan (Veskariyanti, 2008)
2. Terapi biomedis
Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan mengingat banyaknya gangguan pada fungsi tubuh yang sering terjadi anak autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi fungsi otak.
Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan anak (Veskariyanti, 2008).
Menurut Veskarisyanti (2008), anak dengan autisme memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.
3. Terapi wicara
Menurut Veskarisyanti (2008), umumnya hampir semua penyandang autisme mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, terapi wicara (speech therapy) pada penyandang autisme merupakan suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan metode ABA ( Applied Behavior Analysis).
Area bantuan dan Terapi yang dapat diberikan oleh Terapis Wicara (Weskariyanti, 2008 : 42):
1. Untuk Artikulasi atau Pengucapan: Artikulasi/ pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi lumah (l/r); omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu; distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.
2. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya fungsional, maka terapis Wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang mengalami kesulitan.
3. Untuk Bahasa: Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah: 1. Phonology (bahasa bunyi); 2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata; 3. Morphology (perubahan pada kata), 4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa; 5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas), 6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan; 7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Pendengaran: Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan dan Terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang terkait; (2) Terapi; Penggunaan sensori lainnya untuk membantu komunikasi;
5. Suara: Gangguan pada suara adalah Penyimpangandari nada, intensitas, kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara atau pun si pendengar, dan tidak pantas ( inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
4. Terapi perilaku
Terapi ini memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespon benar sesuai intruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak mempunyai respon negatif (salah/tidak tepat) atau tidak mempunyai respon sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif dari hal-hal yang ia sukai. Diharapkan dengan perlakuan ini dapat meningkatkan kemungkinan agar anak mempunyai respon positif dan mengurangi kemungkinan dia mempunyai responden negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan. (Weskariyanti, 2008 : 46).
5. Terapi okupasi
Terapi okupasi berguna untuk melatih otot-otot halus anak. Menurut penelitian, hampir semua kasus anak austik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak geriknya sangat kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang benda denga cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, sulit bermain bola sebaiknya anak normal, sulit bersalaman atau memetik gitar. Dengan terapi ini anak akan dilatih untuk membuat semua tubuhnya berfungsi dengan tepat (Weskariyanti, 2008 : 61).
Prinsipnya adalah menyusun ekspektasi yang jelas pada perilaku anak. Memuji dan memberikan penghargaan untuk perilaku positif dan menghalangi perilaku negatif. Semua program terapi perilaku perlu menyertakan 4 prinsip ini:
1) perkuat perilaku baik dengan sistem imbalan / reward
2) acuhkan perilaku kurang baik yang ringan
3) cabut hak istimewa jika perilaku negatif menjadi terlalu serius untuk diacuh
4) hilangkan pemicu dari perilaku buruk
(Weskariyanti, 2008 : 61)
6. Terapi sensori integrasi
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk megolah dan mengartikan seluruh rangsang yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian menghasilkan respon yang terarah. Terapi ini berguna untuk meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Aktifitas ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks, dengan demikian dapat bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar

No comments:

Post a Comment

Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa komponen yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Komponen PSQI d...