Monday 14 November 2016

Konsep Pola Asuh Orang Tua

A. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses Interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mancakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan dalam Interaksinya dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi dirinya (Rachmadiana, 2004).
Pola asuh merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat(Edwards, 2006).
Casmini dalam Bety (2012) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya.

B. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrinddalam Petranto (2006) pola asuh anak terdiri dari empat macam yaitu pola pengasuhan Autoratif, otoriter, penyabar atau pemanja, penelantar.
1. Pola Pengasuhan Autoratif
Orang tua atau pengasuh lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan dirinya.Tetapi mereka tidak ragu-ragu mengendalikan anak .berani menegur anak bila berprilaku buruk. Mereka mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap pengetahuan dan ketrampilan akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan dimasa mendatang.
Pada umumnya pola pengasuhan ini diterapkan orang tua yang menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan dan wawasan kehidupan masa depan yang jelas.
2. Pola pengasuhan Otoriter
Pola pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang otoriter menekankan kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semena-mena kepada anak (Widyarini, 2003).
Yahya & Latif (2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu cara dimana orang tua menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah laku anak dengan membuat peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi oleh anak dan tidak membenarkan anak mengikuti peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua tersebut.
Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan beberapa bentuk aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak tanpa mau tahu perasaan anak. Orang tua akan emosi jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tua. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).
Sikap otoriter yang digunakan orang tua dalam pola asuh anak, akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan anak akan terhambat. Dengan demikian, pola asuh secara otoriter yang digunakan keluarga dalam mendidik anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak dalam keluarga (Hidayat, 2005).
Keluarga yang menganut pola asuh otoriter biasanya, anak-anak mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan, bahkan untuk dirinya sendiri karena semua keputusan berada ditangan orang tua dan dibuat oleh orang tua, sementara anak harus mematuhinya tanpa ada kesempatan untuk menolak ataupun mengemukakan pendapat. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua dengan anak, sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh di batah. Mereka menetapkan aturan yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut. Otoriter orang tua dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam pengambilan keputusan, seperti “lalukan saja karena saya mengatakan begitu”.
Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat digambarkan sebagai berikut (Yahya & Latif, 2006).
1) Mengkontrol tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ketat, menilai tinggi ketaatan dan keakuran.
2) Tidak mengamalkan tolak ansur secara lisan dan anak-anak harus mengikuti perintah tanpa pengecualian.
3) Keputusan orang tua tidak boleh dibantah.
4) Apa yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh anak.
5) Menggunakan kaedah-kaedah disiplin yang bersifat hukuman.
6) Tidak responsif atas kehendak anak, bersikap tidak fleksibel dan ketat dalam pengawalan tingkah laku anak.
Sedangkan Wong at al. (2008) menkategorikan ciri-ciri orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter sebagai berikut:
1) Kaku
2) Tegas
3) Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka
4) Membatasi keputusan dari anak
5) Mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan
6) Reward ”penghargaan jarang diberikan pada perbuatan anak yang benar, baik dan berprestasi”.
7) Punishment “hukuman selalu diberikan pada perbuatan anak yang salah dan melanggar aturan”.
8) Suka menghukum anak secara fisik.
Menurut Middlebrook (1993, dalam Fathi, 2003) hukuman fisik yang biasanya diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak. Hal itu dapat menyebabkan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1) Menyebabkan anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu sangat mengganggu pribadi anak sendiri sehingga anak juga tidak akan bisa belajar dengan optimal.
2) Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada diri anak yang mendorng tingkah laku agresif.
3) Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas sasarannya dan lebih membawa efek negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk memukul atau merusak hanya ketika orang tua ada didekatnya, tetapi akan segera melakukan tindakan merusak setelah orang tua tidak ada.
4) Tingkah laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak sehingga anak akan menirunya.
Pola asuh otoriter yang diterapakan orang tua kepada anak cenderung bersifat tidak puas dengan diri anak, tidak boleh dipercaya, selalu berubah mengikuti keadaan, cemas, ganas secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam berhubungan dengan kawan-kawan sebaya dan menarik diri secara sosial.
3. Pola pengasuhan penyabar atau pemanja
Pola pengasuhan penyabar atau pemanja ini kebalikan dari pola pengasuhan otoriter, segala sesuatu justru berpusat pada kepentingan anak.Orang tua atau pengasuh tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku anak.Meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran.
4. Pola pengasuhan penelantar
Bukan hanya berarti menelantarkan anak secara fisik atau nutrisial tetapi juga berarti penelantaran dalam kaitan psikis. Orang tua atau pengasuhan kurang atau bahkan sama sekali tidak memperdulikan perkembangan psiskis anak. Orang tua lebih memprioritaskan kepentingan sendiri dari pada kepentingan anak. Banyak orang tua yang terlalu sibuk sendiri dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai alas an pembenaran.

C. Tipe dalam Pengasuhan
Tipe pengasuhan ada 3 macam, tipe sulit dan tipe slow to warm up (Mayke, 2006)
1. Tipe mudah
Ciri-cirinya:
1) Memiliki suasana hati yang positif, tidak rewel.
2) Dengan cepat dapat membentuk kebiasaan rutin yang teratur dan mudah menyesuaikan diri.
3) Memasuki usia pra sekolah atau ballita, anak tipe ini umumnya lebih mudah memahami penjelasan tentang perilaku yang diharapkan dari mereka.
2. Tipe sulit
Ciri-cirinya:
1) Cenderung bereaksi secara negatif dan sering kali menangis.
2) Cenderung bereaksi negatif terhadap kegiatan rutin, sehingga memberikan kesan sangat sulit untuk hidup secara teratur (nisalanya keteraturan dalam hal makan, tidur)
3) Lamban dalam menerima pengalaman-pengalaman baru, sehingga penyesuaian diri dengan lingkungan, situasi serta orang-orang di sekitarnya dan makanan baru pun sulit.
4) Memasuki usia pra sekolah/ balita, si anak sangat sulit sekali bila di beri pengertian atau penjelasan tenteng prilaku apa yang tida di harapkan dari mereka.
3. Tipe slow to warm
Ciri-cirinya:
1) Memliki ciri anak tipe sulit dan mudah.
2) Cenderung menunjukkan suasana hati yang negatif (sedikit lebih baik dari pada tipe sulit ).
3) Penyesuaian dirinya juga lamban dan suasana hati anak tipe ini cenderung rendah intensitasnya.semasa bayi ia tidak terlalu rewel bila dibandingkan dengan tipe anak sulit.Lewat bujukan-bujukan akhirnya ia dapat di tenangkan.
4) Memasuki usia pra sekolah/balita, anak tidak terlalu mudah saat diberi pengertian atau diberi penjelasan tentang apa yang diharapkan dari mereka dalam bertingkah laku.

D. Hal-Hal yang Dilakukan Orang Tua Menuju Pola Asuh yang Efektif
1. Pola asuh harus dinamis
Pola asuh ini harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak
2. Pola asuh harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak
Ini perlu dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda, selain itu harus memenuhi kebutuhan fisik dan psikis anak.Sentuhan fisik misalnya merangkul, mencium, memeluk dengan kasih sayang sehingga membuat anak bahagia dan pribadinya berkembang dengan matang.
3. Ayah ibu harus kompak
Ayah dan Ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini orang tua berkompromi dan jangan sampai orang tua saling berseberangan karena hanya akan membuat anak bingung.
4. Pola asuh disertai perilaku positif dari orang tua
Penerapan pola asuh jusa membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga bisa dijadikan contoh bagi anaknya. Orang tua berharap anak bisa jadi yang memiliki aturan dan norma yang baik, berbakti dan menjadi contoh bagi teman-temannya dan orang lain.
5. Komunikasi efektif
Bisa dikatakan komunikasi efektif merupakan sub bagian dari pola asuh yang efektif. Syarat dari komunikasi efektif yaitu mempunyai waktu luang untuk berbincang-bincang/ngobrol dengan anak dan menjadi pendengar yang baik dan jangan meremehkanpendapat anak.
6. Disiplin
Penerapan disiplin juga menjadi begian dari pola asuh.Penerapan disiplin dari hal-hal kecil/yang sederhana.Misalnya membereskan kamar atau menyimpan sesuatu pada tempatnya yang rapi.Anak juga diajarkan membuat jadwal harian sehingga bisa lebih teratur dan efektif mengelola kegiatan.Penerapan disiplin ini harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi anak (Hilman Hilmansyah, 2006)

E. Peran Pengasuhan
Pada budaya timur seperti Indonesia, peran pengasuhan atau perawatan lebih banyak dipegang oleh istri/ibu meskipun mendidik anak merupakan tanggung jawab bersama. Peran dapat dipelajari melalui proses sosialisasi tahapan perkembangan anak yang dijalankan melalui interaksi antar anggota. Peran yang dipelajari akan mendapat penguatan melalui pemberian dengan kasih saying yang diberikan, perhatian, dan persahabatan.
Dalam menjalankan peran pengasuhan orang tua harus mempunyai rasa percaya diri yang besar terutama dalam :
1. Pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak
2. Pemenuhan kebutuhan makanan dan pemeliharaan kebersihan perseorangan
3. Penggunaan alat permainan sebagai stimulus pertumbuhan dan perkembangan serta komunikasi efektif yang diperlukan dalam berinteraksi dengan anak dan anggota keluarga lainnya

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Wong (2001, dalam Supartini, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut.
1. Pendidikan Orang Tua.
Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak.
2. Usia Orang Tua
Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya dengan kesiapan menjadi orang tua. Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
3. Keterlibatan Ayah.
Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika dibandingkan dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri.
Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi baru lahir, sama pentingnya hubungan antara ibu dan anak bayi sehingga dalam proses persalinan, ibu dianjurkan ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan menyusukannya (bonding and attachment). Dengan demikian, kedekatan hubungan antara ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan, tetapi tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah tidak terlibat secara langsung pada bayi baru dilahirkan. Maka beberapa hari atau minggu kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok, bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam perawatan anak (Supartini, 2004).
4. Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembagan anak yang normal.
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh anak yang secara kuantitatif dapat ditulis. Sedangkan perkembagan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Hidayat 2005).
5. Stres Orang Tua.
Stres yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua, misalnya anak dengan temperemen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.
Stres merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai dengan meningkatnya emosi yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah yang berlangsung lama, gelisah, cemas dan takut. Stres adalah istilah yang muncul bersamaan kehidupan masyarakat saat ini. Orang tua mengatasi stress dengan cara yang berbeda-beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan atas kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak (Prayitno & Basa, 2004).
Sedangkan menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
1. Orang tua yang telah memiliki pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan disiplin, dan mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
2. Jumlah stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau dalam menghadapi perilaku anak mereka.
3. Karakteristik, seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat menyebabkan orang tua kehilangan kepercayaan diri dan meragukan kemampuan mereka dalam mengasuh anak.
4. Hubungan perkawinan orang tua yang dapat memberi efek negatif terhadap pola asuh, karena tekanan atau ketegangan pernikahan dapat mengganggu rutinitas pemberian perawatan dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak. Sebaliknya, orang tua yang saling mendukung dan mendorong dapat memberi pengaruh positif pada terciptanya peran menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al., 2008).

No comments:

Post a Comment

Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa komponen yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Komponen PSQI d...