A. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Turmudji, 2006).
Pola asuh adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah
maupun hukuman, dan bagaimana cara memberikan hukuman tersebut (Shochib, 2010).
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian
penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan.
Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan
makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.
Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara–cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola
pengasuhan. Dalam interaksinya dengan orang tua anak cenderung menggunakan cara–cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya
terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disuatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh apa yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan
situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya
lebih baik dari orang tuanya (Jas & Rahmadiana, 2004).
B. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Wong et al.(2008) mengategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu: pola asuh permisif, otoriter dan demokratif (otoritatif):
1. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua terlalu cuek terhadap anaknya.
sehingga, apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti, tidak sekolah, bandel, melakukan pergaulan bebas negatif dan sebagainya (Prayitno &
Basa, 2004).
Jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu memberi bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali anak sepenuhnya
terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan permisif diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik
dan mengasuh anak dengan baik. Anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Dengan begitu anak
nantinya akan berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak peduli dengan tanggung jawab, memiliki
kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, baik ketika kecil maupun sudah dewasa. ini merupakan
cara terburuk dalam mengasuh anak (Fathi, 2003).
Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan terhadap anak untuk berbuat apa saja ternyata tidak sangat kondusif bagi pembentukan karakter anak. Secerdas
dan sehebat apapun seorang anak, anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik dan mana yang salah. Memberi kebebasan yang
berlebihan, terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa dalam pola asuh permisif, orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka.
Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar prilaku mereka dan
mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin.
Yahaya & Latif (2006) menggambarkan pola asuh permisif dicirikan oleh corak komunikasi yang terbuka dan orang tua kurang menekankan tingkah laku yang
baik pada anak. Sikap pola asuh orang tua yang permisif adalah:
1) Tidak membuat peraturan kepada anak dan anak selalu diberi kebebasan yang penuh.
2) Kurang menggunakan kontrol dan apabila perlu, mereka menggunakan penjelasan ataupun sebab-sebab dan tidak menggunakan kuasa ataupun kekerasan dalam
mengasuh anak.
3) Tidak menggunakan kuasa secara terbuka dan langsung.
4) Berkomunikasi secara terbuka dan tidak mencoba membentuk tingkah laku anak.
5) Tidak bersifat menghukum dan meneriama impuls dan keinginan anak.
6) Berperanan sebagai sumber yang memenuhi kehendak anak dan bukan sebagai agen-agen aktif yang terlibat dalam penentuan tingkah laku anak.
7) Membiarkan anak mengatur aktivitas-aktivitas sendiri tanpa pengawasan orang tua.
8) Mencoba menyediakan keadaan yang membimbing kearah perkembangan anak tetapi gagal membentuk hak-hak batasan yang tegas kepada anak atau pun menghendaki
anak bertingkah laku matang.
Sedangkan menurut Wong at al. (2008) orang tua yang menerapkan pola asuh permisif mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Kurang memberikan kontrol.
2) Mengizinkan anak untuk berbuat apa saja.
3) Tidak ada aturan ketat dari orang tua, dan anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar.
4) Reward ”tidak diberikan untuk perilaku yang baik, karena ada anggapan bahwa persetujuan sosial sebagai reward”.
5) Punishment ”tidak diberikan karena memang tidak ada aturan yang mengikat”.
6) Tidak menetapkan batasan-batasan yang logis.
7) Orang tua menganggap dirinya sebagai sumber bukan sebagai model peran untuk anak.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan kaku dalam pengasuhan
anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang otoriter menekankan
kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua
kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semena-mena kepada anak (Widyarini, 2003).
Yahya & Latif (2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu cara dimana orang tua menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah laku anak dengan
membuat peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi oleh anak dan tidak membenarkan anak mengikuti peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh
orang tua tersebut.
Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan beberapa bentuk aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak tanpa mau tahu perasaan anak.
Orang tua akan emosi jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tua. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh
anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik
asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang
tua dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).
Sikap otoriter yang digunakan orang tua dalam pola asuh anak, akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam kehidupan anak. Apabila ini
terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan anak akan terhambat. Dengan demikian, pola asuh secara otoriter
yang digunakan keluarga dalam mendidik anak sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak dalam keluarga (Hidayat, 2005).
Keluarga yang menganut pola asuh otoriter biasanya, anak-anak mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan, bahkan untuk dirinya sendiri
karena semua keputusan berada ditangan orang tua dan dibuat oleh orang tua, sementara anak harus mematuhinya tanpa ada kesempatan untuk menolak ataupun
mengemukakan pendapat. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua dengan anak, sehingga antara
orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh di
batah. Mereka menetapkan aturan yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas
kepatuhan absolut. Otoriter orang tua dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam pengambilan keputusan, seperti “lalukan saja
karena saya mengatakan begitu”.
Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat digambarkan sebagai berikut (Yahya & Latif, 2006).
1) Mengkontrol tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ketat, menilai tinggi ketaatan dan keakuran.
2) Tidak mengamalkan tolak ansur secara lisan dan anak-anak harus mengikuti perintah tanpa pengecualian.
3) Keputusan orang tua tidak boleh dibantah.
4) Apa yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh anak.
5) Menggunakan kaedah-kaedah disiplin yang bersifat hukuman.
6) Tidak responsif atas kehendak anak, bersikap tidak fleksibel dan ketat dalam pengawalan tingkah laku anak.
Sedangkan Wong at al. (2008) menkategorikan ciri-ciri orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter sebagai berikut.
1) Kaku
2) Tegas
3) Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka
4) Membatasi keputusan dari anak
5) Mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan
6) Reward ”penghargaan jarang diberikan pada perbuatan anak yang benar, baik dan berprestasi”.
7) Punishment “hukuman selalu diberikan pada perbuatan anak yang salah dan melanggar aturan”.
8) Suka menghukum anak secara fisik.
Menurut Middlebrook (1993, dalam Fathi, 2003) hukuman fisik yang biasanya diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku
anak. Hal itu dapat menyebabkan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1) Menyebabkan anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu sangat mengganggu pribadi anak sendiri sehingga anak juga tidak akan bisa belajar dengan
optimal.
2) Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada diri anak yang mendorng tingkah laku agresif.
3) Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas sasarannya dan lebih membawa efek negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk memukul atau merusak hanya ketika
orang tua ada didekatnya, tetapi akan segera melakukan tindakan merusak setelah orang tua tidak ada.
4) Tingkah laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak sehingga anak akan menirunya.
Pola asuh otoriter yang diterapakan orang tua kepada anak cenderung bersifat tidak puas dengan diri anak, tidak boleh dipercaya, selalu berubah mengikuti
keadaan, cemas, ganas secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam berhubungan dengan kawan-kawan sebaya dan menarik diri secara sosial.
3. Pola Asuh demokratif (Otoritatif)
Pola asuh demokratif merupakan sikap orang tua yang mengizinkan dan mendorong anak untuk membicarakan masalah mereka, memberi penjelasan yang rasional
tentang peran anak dirumah dan menghormati peran serta orang tua dalam pengambilan keputusan meskipun orang tua pemegang tanggung jawab yang tinggi dalam
keluarga (Prayitno & Basa, 2004).
Pola asuh demokratif, didasari atas pengertian dan rasa hormat orang tua terhadap anaknya. Disini orang tua memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengeksplorasi berbagai hal sesuai usia perkembangan anak, dengan mensensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh demokratif adalah
pola pengasuhan yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan demokratif akan hidup ceria,
menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik,
disukai lingkungan dan masyarakat lainnya (Prayitno & Basa, 2004).
Dalam pola asuh demokratif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada maslah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang
saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu,
mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara anak dan orang tua. Orang tua tidak mengambil posisi mutlak dan
tidak juga mendasari pada kebutuhan anak semata (Widyarini, 2003).
Menurut Wong et al. (2008) pola asuh demokratif ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kontrol yang kuat disertai dukungan, pengertian dan keamanan.
2) Semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua.
3) Mengizinkan anak untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuannya.
4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasan yang masuk akal kepada anak.
5) Anak diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan.
6) Punishment ”diberikan kepada perilaku yang salah dan melanggar peraturan”.
7) Reward ”yang berupa pujian dan penghargaan diberikan kepada perilaku yang benar dan berprestasi”.
8) Orang tua selalu memilih pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Sedangkan Yahya & Latif (2006), menggambarkan sifat orang tua dalam demokratif sebagai berikut.
1) Orang tua lebih fleksibel dan rasional dalam mendidik anak.
2) Menggunakan kontrol tegas tetapi membenarkan kebebasan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak.
3) Menjelaskan nilai-nilai mereka dan menaruh harapan yang tinggi supaya anak mematuhinya.
4) Peramah dan tidak melihat diri sebagai manusia yang tidak membuat kesilapan dalam tanggung jawab mereka sebagai orang tua.
5) Responsive, memberi kesempatan dan menghormati kepentingan anak, mesra tapi tegas.
Pola asuh demokratif lebih kondusif dalam pendidikan anak. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Baumrind, yang menunjukkan bahwa orang tua
yang otoritatif lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam hal kemandirian dan tanggung jawab (Fathi, 2003).
Menurut Arkoff (1993, dalam Fathi, 2003) anak yang dididik dengan cara demokratif umumnya cenderung mengungkapkan agresifitasnya dalam tindakan yang
konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang bersifat sementara. Artinya, jika marah, kemarahannya tidak akan berlarut-larut apa lagi sampai mendendam.
Disisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak akan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresifitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan
yang merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.
Berdasarkan ciri-ciri pola asuh diatas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol yang kuat.
Berbeda dengan pola asuh otoritatif yang bersifat demokratis, tetapi juga menerapkan kontrol. Berbeda juga dengan pola asuh permisif yang bersifat
demokratis, tetapi tanpa memberi kontrol kepada anak. Dengan pendekatan yang tidak demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter,
tidak mengherankan bila pola asuh otoriter yang akan mengakibatkan atau berdampak negatif terhadap anak.
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh.
Menurut Supartini (2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut.
1. Pendidikan Orang Tua.
Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah
laku, pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan
pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan
berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat
aktif dalam setiap pendidikan anak.
2. Usia Orang Tua
Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan
menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya dengan kesiapan menjadi orang tua.
Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat
menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
3. Keterlibatan Ayah.
Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika dibandingkan dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya
menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri.
Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi baru lahir, sama pentingnya hubungan antara ibu dan anak bayi sehingga dalam proses
persalinan, ibu dianjurkan ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan menyusukannya
(bonding and attachment). Dengan demikian, kedekatan hubungan antara ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati
akan ada perbedaan, tetapi tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah tidak terlibat secara langsung pada bayi baru dilahirkan.
Maka beberapa hari atau minggu kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok, bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk
terlibat dalam perawatan anak (Supartini, 2004).
4. Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak.
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih
mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan
lebih relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembagan anak yang normal.
Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh anak yang secara kuantitatif dapat ditulis. Sedangkan perkembagan merupakan
bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Hidayat 2005).
5. Stres Orang Tua.
Stres yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam
kaitannya dengan strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang
tua, misalnya anak dengan temperemen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.
Stres merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai dengan meningkatnya emosi yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah yang
berlangsung lama, gelisah, cemas dan takut. Stres adalah istilah yang muncul bersamaan kehidupan masyarakat saat ini. Orang tua mengatasi stress dengan
cara yang berbeda-beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan atas kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak (Prayitno &
Basa, 2004).
Sedangkan menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
1. Orang tua yang telah memiliki pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan
disiplin, dan mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
2. Jumlah stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau dalam
menghadapi perilaku anak mereka.
3. Karakteristik, seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat menyebabkan orang tua kehilangan kepercayaan diri dan meragukan kemampuan mereka dalam
mengasuh anak.
4. Hubungan perkawinan orang tua yang dapat memberi efek negatif terhadap pola asuh, karena tekanan atau ketegangan pernikahan dapat mengganggu rutinitas
pemberian perawatan dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak. Sebaliknya, orang tua yang saling mendukung dan mendorong dapat memberi pengaruh positif
pada terciptanya peran menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al., 2008).
D. Indikator Pola Asuh Orang Tua
a. Pendampingan belajar pada anak
Moh. Muzaqi (2005) mengatakan bahwa pendampingan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dan dapat bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam
kelompok, yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan dan mengontrol. Pendampingan orang tua adalah upaya yang dilakukan oleh orang tua dalam
mendampingi anaknya dalam proses memandirikan anak terutama dalam belajar. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua pada
anaknya saat belejar.
Proses belajar anak perlu melibatkan peran pendampingan orang tua, karena anak masih dalam area tanggung jawab dan pemeliharaan orang tua. Jika suatu
masalah muncul pada si anak, maka kesalahan bukan terutama pada si anak saja tetapi orang tua turut terlibat di dalamnya. Kesalahan yang sering ditemui
pada orang tua adalah menyerahkan tanggung jawab penuh pendidikan pada guru di sekolah, sehingga jika anak mengalami hambatan seringkali yang dipersalahkan
adalah guru sekolahnya. Guru hanya memiliki 25 % waktu bersama dengan anak, sedangkan 75 % sisanya adalah peran orang tua (keluarga).
b. Interaksi dengan anak
Orang tua memiliki 75 % waktu bersama dengan anak, waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan Guru di sekolah. Hasil studi Zeitlin (2000) menunjukkan
bahwa anak yang diasuh dengan baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik pula. Jelas di sini interaksi orang tua dengan anak di butuhkan. Anak butuh
kasih sayang dari orang tuanya, mereka merasa lebih diperhatikan apabila orang tua selalu ada di sampingnya. Keadaan seperti ini membuat mereka menjadi
merasa aman dan tenaang.
Hasil penelitian Kasuma (2001) di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa selain peran ibu, peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada tingkat
perkembangan anak. Anak sering menirukan atau mengadopsi jiwa kepemimpinan dari seorang ayah. Namun yang perlu di ketahui, cinta dan kasih sayang kepada
anak hendaknya diberikan sewajarnya karena akan mempengaruhi kemandirian anak. Orang tua harus mendidik dengan baik agar anak tidak menjadi manja, dalam
hal ini di perlukan komunikasi yang baik dengan anak. Interaksi dua arah antara orang tua dan anak adalah cara yang tepat untuk membentuk perkembanagn
motorik anak.
No comments:
Post a Comment